Masih ingat dengan Cerita berjudul "Cinta Coklat Valentine"? Kali ini saya membuat cerita yang masih berhubungan dengan dengan CCV yang kemarin. Oleh karena itu jika ingin membaca cerita berjudul "Seseorang Dari Masa Lalu" ini, kalian harus terlebih dulu membaca cerpen "Cinta Coklat Velntine". Karena cerita ini menghabiskan 60 lembar halaman A4, maka saya membuat cerita ini sebanyak 3 bagian. Okey, selamat membaca :)
Sinopsis...
Kebahagiaan tengah dirasakan oleh dua sejoli, Alfa dan Stefani.
Bermula dari sebuah persahabatan yang erat, hubungan karib yang selama ini
mereka sebut sebagai persahabatan, ternyata mampu menumbuhkan perasaan cinta
didalam diri masing-masing. Semua hari–hari yang mereka habiskan bersama, dapat
membuat keduanya memiliki perasaan yang lebih dari sekedar sahabat.
Berawal dari sebuah kejutan manis dari Alfa dihari valentine,
Stefani mulai bisa merasakan apa yang sedang dirasakan oleh Alfa. Berawal dari
itu pula, Alfa mulai memberanikan diri untuk memberikan sinyal-sinyal cinta
pada Stefani. Dan Alfa pun menyatakan perasaan yang ia rasakan selama ini pada
Stefani. Dengan banyak rintangan dan konflik batin dalam diri keduanya,
akhirnya hubungan persahabatan kedua sahabat karib ini bermetamorfosis menjadi
sebuah hubungan spesial bak Romeo dan Juliet.
Tapi hubungan cinta mereka tidak semulus yang diharapkan. Satu
persatu halangan dan rintangan terus menerus menerpa mereka berdua. Kritikan
dan pengkhianatan dari berbagai pihak terus mereka terima. Tapi Alfa dan
Stefani yakin, mereka bisa melalui semua ujian ini. Ketika Stefani hampir
menyerah dengan keadaan yang serba sulit itu, seseorang dibalik itu semua mulai
menampakkan sosoknya. Seseorang yang selama ini membuat guncangan dan andil
besar untuk menggoyahkan ikatan cinta antara Alfa dan Stefani. Seseorang yang
berpengaruh besar di dalam kehidupan Alfa dan Stefani dulu. Seseorang dari masa
lalu…..
Story....
Cuaca begitu panas dan terik, mungkin bisa untuk mematangkan sebuah
telur. Begitulah keadaan kota Yogyakarta saat itu. Padahal jam menunjukan waktu
itu tepat pukul 08.00. Bisa dibilang masih pagi. Tetapi tetap saja cuacanya
tidak bersahabat. Stefani repot mencari-cari charger ponselnya yang semalam ia letakkan di meja rias dekat
lemari setelah ia gunakan tadi malam. Gadis berkacamata ini memang sedikit
ceroboh meletakkan barang-barangnya.
“Tuhkan! Dibawah meja rias! Dibilangin ga percaya sih!” Sita
mengomel pada Stefani.
“Iya iya. Kan aku ga liat tadi.” Stefani membela diri.
Semua murid kelas XI SMA Negeri 2 Cimahi sudah siap check out dari
hotel untuk melanjutkan perjalanan menuju objek wisata selanjutnya. Ya, sudah
sekitar 3 hari mereka melakukan Study Tour ke Yogyakarta. Kegiatan yang paling
difavoritkan disekolah itu. Bagaimana tidak, selama 3 hari penuh semua siswa
dimanjakan untuk berjalan-jalan menikmati objek wisata di Kota Gudeg itu,
sekaligus mereka bisa terbebas dari tugas, ulangan dan rutinitas sekolah yang
terkadang bisa membuat mereka kekurangan suplai liburan. Stefani berjalan
keluar kamar V-2 dengan membawa 3 tas besarnya. Gadis ini memang gemar membawa
barang-barang banyak, terutama baju-bajunya. Satu tas punggung, satu koper dan
satu tas jinjing. Sedikit kerepotan memang, tapi itulah resiko yang harus
ditanggung Stefani. Teman-temannya pun sudah memaklumi kebiasaan gadis itu.
Bruk! Ia meletakkan koper dan tas punggungnya dilantai halaman
kamar. Mungkin saking beratnya dan isinya yang penuh, tas itu mengeluarkan
suara ketika Stefani meletakkannya dilantai. Ia duduk dikursi yang ada didepan
kamar itu sambil menunggu teman-teman sekamarnya keluar. Karena kamar Stefani
terletak dilantai bawah, ia bisa melihat satu persatu orang lewat depan
kamarnya yang berasal dari lantai 2 sekaligus menunggu Alfa turun dari lantai
2. Stefani masih tersenyum sendiri ketika mengingat kejadian tadi malam. Sangat
mengesankan! Komentarnya dalam hati. Tadi malam memang malam yang benar-benar
berkesan di hidup Stefani, juga Alfa. Pasalnya tadi malam baru saja mereka
menjadi dua sejoli yang saling mencintai. Tak heran jika Stefani tak bisa tidur
setelah kejadian itu, dan memilih untuk begadang-bermain kartu UNO-bersama
teman-teman satu kamarnya sampai pukul 2.30 dini hari.
Stefani melihat orang-orang berlalu lalang melewatinya untuk menuju
lobi hotel dan menunggu bus datang menjemput mereka mengelilingi objek wisata
kembali. Tapi Alfa belum keluar juga. Dan anehnya, banyak orang yang tadi
berlalu lalang didepannya mengucapkan selamat padanya. Stefani hanya bisa
mengangguk bingung dan berterima kasih pada orang-orang yang telah mengucapkan
selamat padanya.
“Hey Stefani! Selamat menempuh hidup baru bersama Alfa! Semoga
langgeng ya!” Amelia memberi ucapan selamat.
Barulah Stefani mengerti apa yang menyebabkan banyak orang
mengucapkan selamat padanya. Baru saja kurang dari 8 jam Stefani resmi menjadi
pacar Alfa. Tapi berita itu dengan cepat menyebar ke telinga teman-temannya. Maklum
saja, peristiwa tadi malam itu terjadi begitu saja pada kehidupannya. Sekaligus
menjadi tontonan orang banyak yang kebetulan saat itu sedang berada disekitar
tempat kejadian perkara. Jadi wajar saja jika banyak orang yang mengetahui
peristiwa mengesankan itu.
Bus 4 yang membawa rombongan kelas XI IPA 5 dan XI IPS 1 sudah
datang. Kebetulan Alfa dan Stefani berada didalam satu bus yang sama. Sungguh
sebuah kebetulan yang langka, juga mengasyikan. Walaupun sebelumnya Stefani
dibuat cemburu oleh Bu Endah yang secara tidak sengaja menyuruh gadis lain
untuk duduk bersama Alfa.
Seluruh murid kelas XI SMA Negeri 2 Cimahi yang menghuni lantai 2
kamar hotel, berduyun-duyun mendatangi lobi hotel untuk mengantri masuk kedalam
bus masing-masing. Stefani masih tetap menunggu teman-temannya yang masih
sarapan, sambil mengecek kembali barang-barangnya. Ketika ia sudah merasa
barangnya sudah terbawa semua dan tidak ada yang tertinggal didalam kamar,
iapun beranjak dari tempatnya itu untuk memanggil teman-temannya dan masuk
kedalam bus. Tiba-tiba,
“Bruuk!!” Seseorang menabrak tubuhnya dari samping. Entah disengaja
atau tidak. Sambil meringis kesakitan, Stefani mencoba untuk mengenali siapa
orang yang barusan menubruknya. Dan ternyata orang yang menabraknya itu adalah
Andrean, mantan pacar Stefani yang sudah Stefani putuskan hubungannya secara sepihak.
Seseorang yang telah membuat Stefani sakit hati dan hampir trauma untuk jatuh
cinta pada orang lain. Stefani mendadak kaget ketika ia tahu bahwa Andrean
sudah menabraknya. Stefani tau dia melakukannya dengan sengaja, karena setelah
ia menabrak Stefani, Andrean menatap Stefani dengan tatapan sinis.
Stefani langsung membuang muka. Ia pura-pura mengecek kembali
barang-barangnya yang ada didalam tas itu. Emosi Stefani yang tadi hampir
meledak karena seseorang telah menabraknya dengan sengaja, kini surut begitu
saja. Entah karena perasaan benci Stefani pada Andrean atau karena melihat tatapan
tajam Andrean yang terlihat sinis. Stefani bergegas menuju kamar V-2nya dan
cepat-cepat mengajak teman-temannya untuk segera naik kedalam bus. Perasaan
takutnya ini ia simpan dalam-dalam. Ia tidak mau menceritakan hal ini pada
siapapun, termasuk juga pada Alfa.
“Kamu kenapa Fan? Kok mukamu suram banget sih?” Canda Alvis pada
Stefani.
“Suram gimana? Enggak ah, biasa aja kok.”
“Halaaah, bohong banget sih, Fan? Pasti kamu lagi galau ya? Masa
baru tadi malem jadian udah galau lagi sih? Belum satu hari loh.” Raisa
menggodanya.
“Enggak juga sih, gak galau. Galau itu udah lenyap dari kamus
hidupku.”
“Bohong!” Semuanya serentak meneriaki Stefani.
>oOo<
Stefani hanya bisa menutupi perasaannya yang tidak menentu itu. Dia
khawatir akan terjadi sesuatu pada dirinya dan Alfa, mengingat dia sudah pernah
memutuskan hubungannya dengan Andrean secara sepihak dan otoriter.
“Kita harus jalanin hidup
kita masing-masing aja. Aku yakin kamu pasti dapet seseorang yang jauh lebih
baik lagi dari aku.” Stefani berkata.
“Tapi aku gak mau. Aku ga
bisa terima kamu putusin aku gitu aja. Aku masih sayang kamu.” Ucap Andrean.
“Aku gabisa lagi sama kamu,
Ndre. Maafin aku. Udah, lupain aja aku. Aku yakin ini jalan yang terbaik buat
kita berdua. Makasih selama ini kamu udah bikin aku bahagia. Makasih kamu udah
mau nemenin aku. Makasih juga udah jadi orang yang aku sayang, juga sayang sama
aku. Maafin aku kalo selama ini aku banyak salah sama kamu. Mulai sekarang,
hubungan kita sampai disini aja.”
“Fan, aku gamau. Aku ga
terima…..”
“Maafin aku, Ndre……”
Percakapan antara dirinya dan Andrean itu masih tergambar jelas di
benak Stefani, meskipun sudah terjadi sekitar 6 bulan yang lalu. Perasaannya
sedang kacau saat itu. Bukan tanpa alasan Stefani memutuskan hubungannya dengan
Andrean. Itu semua karena Andrean sudah menyakiti Stefani. Sejak saat itulah
Stefani benci pada Andrean dan itu juga membuatnya trauma untuk jatuh cinta
pada seseorang. Sampai pada akhirnya ia bisa menemukan seseorang yang bisa
mengobati luka dihatinya. Seseorang itu adalah Alfa, sahabat baiknya.
Rombongan murid kelas XI IPA 5 dan XI IPS 1 satu persatu mulai
memasuki bus 4. Stefani menuju ke tempat duduknya bersama Sita dan Cita yang
ada barisan tengah. Sita dan Stefani meletakkan koper mereka masing-masing
didalam bagasi bus dan meletakkan persediaan makanan mereka dibagasi atas kursi
tempat mereka duduk.
“Aduh! Sempit banget sih tempat duduknya ini?” Keluh Sita.
“Iya nih! Sempit banget ya, Sit. Kayaknya ada yang harus pindah
duduk kedepan deh.” Cita yang bersekongkol untuk sependapat dengan Sita melirik
kearah Stefani.
“Jangan aku ah! Aku mau duduk disini aja sama kalian. Gamau duduk
didepan!” Sanggah Stefani.
Rupanya Sita dan Cita bersekongkol untuk membuat Stefani duduk
berdua dengan Alfa. Raisa juga ikut membantu, dengan cara bernegosiasi dengan
Irma.
“Fan, Irma mau duduk ditempat kamu tuh. Ada yang perlu dibicarain
sama aku. Pindah duduk ya kamu sama Alfa? Kan kamu pacarnya, masa harus Irma
sih yang duduk sama Alfa? Ntar dikiranya ada apa-apa loh!” Raisa mulai
menakut-nakuti Stefani. Stefani mulai merasa omongan Raisa ada benarnya juga.
Tapi mungkin karena baru saja dia jadian dengan Alfa, rasa canggung masih
melekat didalam dirinya. Dan ia tetap teguh pada pendiriannya untuk tidak duduk
bersama Alfa.
“Ah, enggak ah. Aku mau duduk disini aja. Aku gak suka duduk dikursi
depan. Panas deket jendela.” Alibi Stefani. Teman-temannya memaklumi sikap
Stefani yang seperti itu, karena maklum, belum 24 jam mereka resmi menjadi
sepasang kekasih. Jadi, wajar sajalah jika Stefani belum mau duduk berdua
dengan Alfa.
>oOo<
Bus berhenti didepan pusat oleh-oleh Djava Jogjakarta. Stefani dan
kawan-kawan langsung turun dan berburu oleh-oleh disana. Setelah meletakkan
barang-barang yang sudah mereka beli kedalam bus, mereka pun duduk di kursi yang
disediakan di tempat parkir itu untuk mencari udara segar dikota Jogjakarta
yang sangat panas itu. Sambil mengipaskan angin ke tubuhnya, Stefani berjalan
mencari posisi yang pas agar dia terhalang dari sinar matahari yang begitu
menyengat. Tapi, rupanya posisi itu tak menguntungkan. Ia melihat Andrean yang
sengaja lewat didepannya, entah apa maksudnya. Wajah Stefani langsung berubah.
Buru-buru ia membuang pandangannya dari situ dan menoleh kearah Sita yang sibuk
menyisir rambutnya. Alvis yang curiga dengan tingkah aneh sahabatnya itu,
segera menyadari apa yang sedang terjadi pada Stefani. Ia pun mengajak Stefani
untuk mengantarnya ke toilet dan menanyakan masalah kecurigaanya pada Stefani.
“Fan, kayaknya aku tau apa yang bikin kamu murung terus selama pagi
ini.” Wajah Stefani pun langsung kaget. Dan buru-buru ia menimpali perkataan
Alvis.
“Hah? Cemberut apanya? Haha, enggak kok. Aku masih ngantuk aja
mungkin.”
“Udah. Kamu gausah bohong sama aku. Aku tau kok apa yang terjadi
sama kamu.” Alvis mendesak Stefani untuk menceritakan apa yang sebenarnya
terjadi dengan Stefani. Akhirnya Stefani pun menceritakan apa yang terjadi pada Alvis.
“Aku ngerasa kalo daritadi Andrean tuh sinis terus ke aku, Vis. Tadi
pagi aja pas aku mau ke lobi hotel Andrean nabrak aku dari samping, kayaknya
sih sengaja. Terus daritadi dia ngeliatin aku sinis banget.”
“Ohya? Masa sih? Cuma perasaan kamu aja kali, Fan. Udah gak usah
dipikirin. Itu namanya suudzon.”
“Iya mungkin ya? Semoga aja ini cuma perasaan aku.”
Mereka berdua kembali menghampiri Sita, Raisa, Cita dan Rena yang
sibuk berebut kipas milik Alvis untuk mengipasi tubuh masing-masing agar rasa
panas yang mereka rasakan hilang. Tapi justru tingkah mereka malah membuat
mereka semakin kepanasan.
“Kalian pada ngapain sih? Rebutan kipas kayak anak kecil aja deh!
Udah yuk, kita masuk ke bus sekarang. Kayaknya udah mau berangkat lagi deh.”
Alvis mengajak mereka semua masuk kedalam bus. Sita dan Raisa masih terlihat
memperebutkan kipas Alvis yang kini menjadi barang berharga. Sesampainya
didalam bus, mereka semua segera menyalakan AC yang ada diatas kursi
masing-masing.
“Eh, kayaknya kita perlu foto-foto nih! Foto bareng yuk!” Ajak Alvis
yang mengeluarkan kamera digitalnya. Mereka semua segera bersiap memposisikan
diri didepan kamera. Sambil menunggu murid lain yang belum masuk kedalam bus,
mereka tetap memanfaatkan waktu itu untuk berfoto. Murid-murid lain yang
melihat dengan keheranan hanya bisa memaklumi tingkah mereka yang notabene
menyita perhatian banyak orang didalam bus itu. Bu Endah selaku wali kelas
mereka, hanya bisa melihat dengan ekspresi memaklumi sembari
menggeleng-gelengkan kepalanya. Saking asyiknya Stefani berfoto-foto ria dengan
teman-teman Geng Sholatnya itu, ia tidak menghiraukan ponselnya yang berdering
didalam tas jinjingnya itu.
>oOo<
Cita berjalan ke tempat kondektur bus duduk untuk memberikan DVD
yang sudah dipilih dan disepakati oleh penumpang bus untuk diputar di DVD
Player. Film akhirnya diputar, Cita kembali ketempat duduknya bersama Stefani
dan Sita. Seluruh penumpang bus tampak atusias dengan menonton film yang
diputar didalam bus 4 yang seketika berubah menjadi bioskop dadakan itu. Suasana
berubah menjadi tegang, karena film yang diputar itu adalah film horror asal
Negeri Sakura yang mengisahkan tentang pembunuhan sadis sebuah keluarga. Semua
penumpang di bus, terutama perempuan, berteriak tidak karuan ketika beberapa
tokoh hantu muncul secara tiba-tiba dalam fim itu. Bahkan, Cita harus beberapa
kali menerima pelukan Stefani yang penakut karena syok sebagai reaksi
refleksnya karena takut dan kaget akibat menonton film itu. Cita hanya bisa
pasrah saja menghadapi teman berkacamatanya itu bereaksi dan dirinya harus siap
jika sewaktu-waktu Stefani memeluknya lagi karena syok dan ketakutan.
“Makanya, Fan. Kamu gak usah sok berani nonton film horror kayak
gini. Aku aja yang pemberani tidur, gak nonton film itu. Apalagi kamu yang
penakutnya setengah mati.” Ejek Sita.
Akhirnya supir bus menghentikan laju kendaraannya dan memarkirkan
kendaraan besar itu di area parkir objek wisata Taman Pintar Jogjakarta. DVD
dimatikan meski film yang mereka tonton belum selesai. Stefani bersiap-siap untuk
turun dari bus itu. Ia segera memasukkan berbagai macam minuman dan snack
kedalam tasnya sebagai perbekalan. Teman-temanya sudah terbiasa melihat Stefani
membawa berbagai macam makanan kemanapun ia pergi, karena itu memang hobinya.
Malah teman-temannya senang jika Stefani membawa banyak makanan dan bisa
membaginya.
Alfa turun terlebih dahulu dari bus 4 dibanding Stefani. Ia segera menghampiri Faris, sahabatnya.
“Ris, aku mau cerita sama kamu nih.”
“Loh, kok kamu malah nyamperin aku sih, Al? Kenapa kamu gak bareng
sama Stefani?”
“Justru itu, Ris. Tadi aja
didalem bus Stefani gak mau duduk berdua sama aku. Kenapa ya?”
“Mungkin Stefani masih malu, Al. Wajar saja, belum satu hari kalian
berpacaran. Kenapa tadi gak kamu aja yang ngajak dia duduk bareng?”
“Aku malu, Ris….”
“Tuhkan?? Kamu juga sama aja. Apa aku bilang? Pasti kalian masih
sama-sama malu, canggung. Yaudah, sekarang kita samperin dia. Kamu ajak dia
jalan-jalan berdua sama kamu.”
Alfa dan Faris pun menerobos kerumunan orang-orang yang berjubel di
parkiran waktu itu. Niatnya ingin mengajak Stefani berjalan-jalan berdua
bersamanya. Tapi ketika ia kembali menuju bus 4, ternyata bus sudah kosong.
Pasti Stefani sudah pergi berjalan-jalan bersama teman-teman Geng Sholatnya
itu. Alfa pun kecewa. Ia melihat sekelilingnya. Tidak ada Stefani disana, hanya
ada rombongan bus 1 dan bus 2 yang baru datang. Alfa mencoba menelpon Stefani berkali-kali,
tapi tak ada jawaban. Alfa hanya bisa pasrah. Mungkin Stefani memang masih malu, katanya dalam hati.
>oOo<
Waktu menunjukan pukul 09.55 pagi. Ternyata benar saja, Stefani
berjalan-jalan bersama rombongan Geng Sholatnya. Sambil berfoto-foto seperti
biasa, mereka menikmati objek wisata Taman Pintar itu. Banyak media
pembelajaran yang membuat Stefani tertarik disana. Semua murid kelas XI SMA
Negeri 2 Cimahi juga sepertinya ikut terlarut dalam kesenangan langka ini.
Saking asyiknya Stefani menikmati liburannya di Taman Pintar bersama
teman-temannya ini, ia sampai lupa mengecek ponselnya. Kemudian ia berinisiatif
untuk melihat ponselnya, apakah ada panggilan masuk atau tidak.
Benar saja. Kali ini ia melihat ada 3 panggilan tak terjawab dan 1
pesan singkat. Panggilan itu dari Alfa, yang tadi ingin mengajaknya untuk
jalan-jalan bersama. Tapi satu yang membuat dirinya kaget. Sebuah pesan singkat
yang berasal dari Marry. Ya, Marry, mantan pacar Alfa. Awalnya ia biasa saja
menanggapi pesan singkat dari Marry yang belum ia baca itu. Tetapi setelah ia
mengetahui isinya, wajahnya langsung pias, tubuhnya langsung lemah.
“Fan, kamu baru aja jadian sama Alfa kan? Selama ini aku kira kamu
adalah temen yang baik buat aku, Fan. Kamu sok-sok baik dukung aku sama Alfa.
Tapi kenyataannya apa? Kamu malah pacaran
kan sama Alfa? Sebenernya aku udah tau dari sejak lama kalo kamu deket sama
Alfa! Kita kan sama-sama cewek, Fan. Masa kamu gak ngerti gimana perasaan aku
sih? Kamu jahat, Fan. Jahat banget!! Ternyata selama ini tuh kamu cuma seorang PENGKHIANAT!!!”
Jantung Stefani mendadak berdetak kencang. Bukan seperti yang ia
rasakan ketika semalam Alfa menembaknya. Tapi karena isi pesan singkat yang dikirim
Marry baru saja, membuat dirinya menjadi tak berkonsentrasi lagi untuk
menikmati liburan ini. Ia sangat menyesal sudah mengecek ponselnya
barusan. Langkahnya terhenti seketika,
matanya terpaku pada layar ponselnya. Moodnya tiba-tiba hancur begitu saja. Ia
hanya bisa berdiri dengan wajah kebingungan.
“Ada apa ini? Belum satu hari aku jadi pacar Alfa,
kenapa udah ada yang neror kayak gini? Apa sih salah aku? Apa aku salah kalo
aku jadi pacar Alfa? Aku cuma ingin bahagia! Itu aja, gak lebih….” Keluh Stefani dalam hati. Tak terasa setetes air mata mengalir di
pipinya. Cepat-cepat ia menghapusnya
karena tak ingin ada yang melihat dirinya sedang menangis. Kebetulan
teman-teman Geng Sholatnya sedang asyik melihat-lihat permainan yang ada
didalam Taman Pintar itu. Disaat teman-temannya sedang bersenang-senang, Stefani
malah merasakan kegalauan hati yang mendalam. Ia hanya terduduk di kursi yang
tersedia. Sambil sesekali menatap layar ponselnya yang berisi pesan singkat
dari Marry. Hatinya begitu sakit. Ia sangat tidak menyangka Marry akan
mengiriminya pesan singkat semacam itu. Stefani juga heran, bagaimana bisa
Marry mengetahui semua yang terjadi pada dirinya dan juga Alfa? Stefani tak
habis piker dengan itu semua. Pasalnya, baru tadi malam, tengah malam tepatnya
Stefani resmi menjadi pacar Alfa. Dan pada jam-jam seperti itu digunakan orang
untuk beristirahat, kecuali murid-murid kelas XI SMA Negeri 2 Cimahi yang
sedang study tour di Kota Jogjakarta, itu yang notabene baru pulang dari
kawasan Malioboro sekitar pukul 11 malam.
Stefani masih memikirkan kejadian barusan, apa maksud dari pesan
singkat Marry tadi. Apakah mungkin Alfa masih memiliki hubungan khusus dengan
Marry? Tapi bukankah mereka sudah putus sejak beberapa bulan yang lalu, sekitar
akhir tahun 2011? Pikiran Stefani mulai melayang. Setidaknya itulah pikiran
negatif Stefani pada Alfa dan Marry. Bagimana jika memang benar mereka masih
memiliki hubungan khusus? Hati Stefani benar-benar hancur. Ia ta kuasa lagi
menahan tangisnya. cepat-cepat ia meminta Cita untuk mengantarnya ke toilet.
Sesampainya di toilet, air mata Stefani pun pecah. Ia tak sanggup lagi menahan
semua perasaan sakit hatinya. Saat hatinya mulai tenang, ia mencoba menarik
nafas dalam dan menghentikan tangisannya. Sambil mengelap pipinya dengan tisu,
ia berjalan keluar toilet berasama Cita dan menghampiri teman-teman Geng Sholat
lainnya.
“Kamu kenapa, Fan? Kok mata kamu merah kayak habis nangis sih?”
Rupanya Alvis sangat peka terhadap keadaan Stefani.
“Enggak kok, Vis. Aku gak apa-apa.”
“Fan, kamu gak usah bohong sama kita. Kita tau kamu lagi galau kan?
Ayo cerita sama kita, ada masalah apa sebenernya?” Bujuk Sita.
Air mata Stefani pecah lagi. Satu tetes dua tetes terus menerus
mengalir di pipinya. Semua teman-teman Geng Sholatnya tampak cemas dan khawatir
akan keadaan Stefani.
“Stefani, gimana kita bisa bantu kamu kalo kamu cuma nangis terus
gak cerita sama kita? Kita gak mau ngeliat kamu sedih kayak gini. Ada masalah
sama Alfa ya?” Tanya Raisa. Stefani menggeleng.
“Karena kamu gak duduk berdua sama Alfa tadi waktu di bus?” Tanya
Rena. Stefani masih tetap menggeleng.
“Terus kenapa, Fan??” Alvis terlihat mulai geram. Stefani
mengeluarkan ponselnya dari dalam tas kecilnya dan membuka isi pesan singkat
yang berasal dari Marry, tanpa berkata-kata. Stefani masih menangis. Alvis,
Sita, Raisa, Cita dan Rena pun bergerombol untuk melihat apa yang terjadi pada
ponsel Stefani. Dengan suara pelan dan hati-hati, Alvis membacakan isi pesan
singkat dari Marry. Mereka semua saling pandang ketika Alvis selesai membacakan
isi pesan singkat itu.
“Apa maksudnya Marry ngirim sms kayak gini ke Stefani? Mau ngajak
berantem dia??” Alvis sedikit emosi.
”Sabar, Vis, sabar. Mungkin Marry masih belum rela dan belum ikhlas
kalo Alfa jadian sama Stefani. Jadi dia ngirim sms kayak gitu.” Timpal Rena.
“Tapi apa urusannya sama Marry? Yang jadian kan Alfa sama Stefani,
kenapa dia yang marah-marah? Lagian kan Marry sama Alfa udah putus dari
beberapa bulan yang lalu. Udah lama juga kali. Kenapa dia harus repot ngurusin
urusan orang sih?” Raisa terlihat emosi juga.
“Udah, kalian semua jangan pada emosi kayak gitu dong. Sekarang gini
aja. Stefani harus omongin masalah ini dulu sama Alfa. Siapa tahu kalo udah
diomongin berdua masalah ini bakalan beres.” Sita angkat bicara. Geng Sholat
mengangguk tanda setuju. Stefani masih menyeka air matanya. Setelah berhasil
tenang, akhirnya Stefani melanjutkan jalan-jalan mereka mengelilingi Taman
Pintar.
>oOo<
Ternyata tak hanya Stefani
yang menerima pesan singkat dengan nada marah dari Marry. Alfa pun merasakan
hal yang sama. Ia juga mendapat kiriman pesan singkat dari Marry. Mendadak ia
juga merasakan kegalauan yang dirasakan oleh Stefani.
“Kenapa kamu tega banget sih sama aku? Kamu jadian kan sama Stefani?
Apa kamu lupa semua kebersamaan yang pernah kita lewatin? Aku sayang kamu, tapi
kenapa kamu ngelakuin ini semua? Harusnya kamu jujur dari awal kalo kamu suka
sama Stefani. Aku sakit hati disini. Kamu gak ngerasain apa yang aku rasain. Sakit
banget rasanya!”
Alfa kaget saat membaca pesan singkat dari Marry itu. Kebetulan ia
sedang bersama dengan Faris. Seketika Faris pun ikut merasakan kegalauan yang
dirasakan oleh Alfa.
“Aku bingung, Ris. Apa maksudnya Marry ngirimin sms kayak gini? Aku
curiga Marry juga ngirimin sms kayak gini ke Stefani.” Alfa dengan kusutnya
memberikan ponselnya pada Faris seakan tidak mau melihat pesan singkat itu
lagi.
“Aku juga lebih bingung, Al. Apa sih masalahnya Marry ngomong kayak
gitu? Apa dia gak suka kamu jadian sama Stefani?”
“Gak tau juga sih, Ris. Tapi kalo diliat dari nada smsnya kayaknya
dia emang gak suka kalo aku jadian sama Stefani.”
“Tunggu, Al. Aku mau tanya sama kamu dan kamu jawab jujur ya?”
“Iya. Mau tanya apa?”
“Kamu udah putus kan sama Marry? Kamu udah gak punya perasaan
apa-apa lagi kan sama dia?”
“Ya udahlah, Ris! Kamu kan tau aku putus sama Marry udah lama.”
Faris dan Alfa harus memutar otak untuk memikirkan masalah ini. Alfa
tidak habis pikir mengapa Marry bisa bertindak seperti itu padanya. Saat mereka
sedang duduk merenung, tiba-tiba Stefani mengirim sebuah pesan singkat kepada
Faris. Isi pesan singkat itu yang Stefani kirimkan pada Faris adalah pesan
singkat yang dikirim Marry pada Stefani. Sengaja Stefani membicarakan hal itu
pada Faris, bukan pada Alfa dengan maksud supaya Alfa tidak banyak pikiran dan
juga tidak terlalu mengurusi urusan
Marry. Stefani meminta Faris untuk merahasiakan hal itu pada Alfa. Tetapi
terlambat. Alfa malah merebut ponsel Faris dan membaca isi pesan singkat dari
Stefani. Intensitas kegalauan Alfa pun bertambah. Ternyata apa yang dia
takutkan barusan, benar-benar terjadi. Ia mencoba menenangkan Stefani.
“Jangan galau ya. Aku bakalan tanggung jawab sama ini semua. Kamu
tenang aja.”
Setidaknya pesan singkat dari Alfa yang baru saja ia terima, Stefani
bisa menjadi lebih tenang. Ia berpikir harus membicarakan masalah dengan Alfa,
secepatnya. Karena jika ia biarkan masalah ini berlarut-larut, maka tidak aka
nada penyelesaiannya. Dan malah akan menjadi masalah yang lebih besar lagi. Dia
sengaja tak membalas pesan singkat dari Marry tadi, karena ia khawatir akan
menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara dirinya dan Marry.
>oOo<
Rombongan murid kelas XI SMA Negeri 2 Cimahi sudah selesai
menjelajahi objek wisata Taman Pintar. Mereka segera kembali kedalam bus
masing-masing untuk melanjutkan perjalanan menuju objek wisata selanjutnya.
Sayangnya, Stefani sudah tidak bergairah lagi untuk melanjutkan liburan itu
dengan semangat kegembiraan seperti teman-temannya yang lain. Ia terlihat
murung dan tidak bersemangat. Bahkan, es krim vanilla dan stroberi kesukaannya
yang ia makan berasama teman-teman Geng Sholatnya pun juga tak bisa mencairkan
suasana hatinya yang entah sedang terasa dingin ataupun panas. Senyumnya juga
tampak hambar, tak semanis dan seceria biasanya.
Alfa tampaknya juga begitu. Wajahnya murung dan dan sedih. Faris
yang sedari tadi bersamanya, ikut prihatin dan bersimpati akan keadaan
sahabatnya itu. Ia berusaha menghibur Alfa dengan memberinya berbagai ide untuk
memecahkan semua masalah yang sedang dihadapinya ini. Tetapi sepertinya usaha yang
ia lakukan sia-sia saja. Alfa tetap cemberut dan kelihatan tidak bahagia. Sampai
di tempat parkir bus, Alfa masih tetap lesu. Ia melangkah gontai masuk kedalam
bus 4. Sementara itu Faris yang berbeda bus dengan Alfa, hanya bisa menatap
sedih sahabatnya itu lewat jendela.
Stefani memasuki bus dengan tampang yang sumrawut. Alvis, Sita,
Cita, Raisa dan Rena sudah berusaha untuk menghiburnya. Tapi tetap saja tidak
berhasil. Stefani masih murung. Ia menghempaskan tubuhnya dikursinya dengan lemah.
Ia juga menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, sambil menatap ke jendela
sebelah kanannya untuk melihat keadaan diluar bus. Tatapannya kosong, seperti
sedang memikirkan sesuatu. Alfa terus memperhatikan Stefani yang sedang galau.
Sepertinya Alfa juga mulai khawatir dengan keadaan Stefani.
“Fan, kayaknya kamu harus pindah tempat duduk deh. Kan kamu bisa
ngomongin masalah ini baik-baik berdua sama Alfa. Biar semuanya cepet selesai,
dan kamu gak terus-terusan galau kayak gini.” Sita yang duduk disebelah
kanannya menyarankan.
“Oke deh.” Stefani segera beranjak dari tempat duduknya dan pindah
ke tempat duduk disebelah Alfa yang masih kosong.
“Aku boleh duduk disini kan?” Tanya Stefani pada Alfa dengan senyum
hambar.
“Boleh kok, duduk aja. Aku malah seneng.” Kata Alfa mempersilakan.
Stefani duduk disamping Alfa. Tapi masih tetap dengan wajah cemberutnya. Alfa
bingung harus melakukan apa agar Stefani tenang dan melupakan masalah ini.
“Aku udah tau semuanya, Fan. Aku harap kamu gak usah mikirin hal
ini. Aku kan udah janji sama kamu, aku bakalan tanggung jawab sama masalah ini.
Semuanya bakal aku selesaikan. Kamu tenang aja, Fan.”
“Aku percaya kamu bakal tanggung jawab, Al. Tapi ini tuh masalah
perasaan. Cewek mana yang gak sakit hati dibilang pengkhianat sama mantan pacar
dari pacarnya sekarang? Kamu ngerti kan maksud aku?”
“Iya aku ngerti banget maksud kamu, Fan. Dan justru itu aku nyaranin
kamu untuk ngelupain masalah ini. Biar aku sendiri aja yang nanggung semua
resikonya.”
“Jujur ya, aku sakit hati banget sama Marry, Al. Kenapa dia selalu
bikin aku gak tenang? Mau dia apa sih? Apa salah kalo aku jadi pacar kamu? Aku
cuma ingin bahagia, Al. Itu aja kok, gak lebih….”
Air mata Stefani kembali mengalir di pipinya. Tetesan air mata itu
tak sanggup lagi terbendung oleh kelopak matanya, bahkan didepan Alfa
sekalipun. Hatinya benar-benar sakit. Alfa tak kuasa melihat Stefani menangis.
Apalagi ia merasa bahwa dirinyalah yang menyebabkan Stefani menangis. Alfa
meraih tangan Stefani dan berusaha menenangkannya.
“Udah, Fan. Kamu gak perlu nangis kayak gini. Belum sehari aku jadi
pacar kamu, masa aku udah bikin kamu nangis gini sih? Senyum dong!” Alfa
berusaha membujuk Stefani. Tapi Stefani masih tetap menangis.
“Tapi aku sakit hati sama, Al. Dia udah pernah ngehancurin hubungan
aku dulu, masa dia mau ngehancurin juga kali ini? Lagian kan sekarang dia udah
gak punya hak lagi buat ngelarang semua yang kita lakuin. Ngapain sih dia masih
ikut campur urusan kita? Dia kan cuma mantan kamu, Al!” Stefani mulai emosi.
“Sayang, aku ngerti banget gimana perasaan kamu sekarang. Jangan
emosi dulu ya, kita bicarain masalah ini baik-baik. Oke, mulai sekarang kamu
gak usah tanggapin semua yang diomongin sama Marry. Anggap aja kalo itu cuma
angin lalu. Aku gak mau hubungan kita keganggu cuma karena masalah ini aja.
Kamu lupain masalah ini okey?” Alfa menjentikkan kelingkingnya untuk membuat
kesepakatan dengan Stefani.
“Okey!” Stefani menghentikan tangisnya dan menyambut jari kelingking
Alfa, tanda ia menyepakati itu. Mereka berdua pun tersenyum bersama. Mereka
menghabiskan hari terakhir di Kota Jogjakarta ini pun bersama-sama. Dan Stefani
duduk disebelah Alfa sepanjang hari itu, dan membuat Sita dan Cita bisa
bernafas lega. Lega karena Stefani sudah tidak galau lagi dan juga lega karena
kursi yang mereka tempati bisa lebih luas tanpa Stefani.
Malam harinya dalam perjalanan pulang menuju Kota Bandung, dengan
tenangnya Stefani tertidur dibahu Alfa tanpa menghiraukan Cita dan Sita yang
mabuk darat dikursi belakang. Raisa dan Rena lah yang repot mengurusi mereka
berdua, karena Alvis juga sepertinya mabuk darat. Saking terlelapnya Alfa dan
Stefani tidur, mereka berdua sampai tidak menyadari bahwa ponsel mereka
masing-masing berbunyi. Ternyata ada sebuah pesan singkat yang mereka terima di
ponsel masing-masing. Dan lagi-lagi, pengirim pesan singkat itu adalah Marry…
>oOo<
Senin, 20 Februari
2012, Stefani melihat kelender duduk di meja belajar kamarnya. Baru saja satu
hari menjadi kekasih Alfa, tapi masalah dan cobaan sudah mulai menghampiri
mereka. Tak henti-hentinya Marry mengirimkan sms yang terkesan seperti meneror
Stefani. Bukan maksud Stefani untuk tidak menjawab isi pesan itu, tapi ia tak
ingin masalah ini semakin berbelit-belit. Menurutnya diam itu lebih baik.
Sudah pukul 3 sore.
Sepanjang hari ini Stefani hanya menghabiskan waktunya untuk tidur. Ia masih
terlalu lelah karena baru pulang berkarya wisata dari Jogjakarta beberapa hari
yang lalu. Dan saat ia terbangun, belasan sms dari Marry menghiasi inbox di ponselnya. Isinya
bermacam-macam, mulai dari kata-kata yang tidak enak di dengar, ancaman akan
mengahancurkan hubungannya dengan Alfa, bahkan ancaman yang berhubungan dengan
nyawa pun tak luput dikemukakan oleh Marry. Entah apa yang diinginkannya, yang
jelas saat ini posisi Stefani sangat tersudutkan, ia merasa ketakutan.
Apa sih yang diinginkan Marry? Apa
dia ga suka kalau aku jadian sama Alfa? AH! dia tuh sadar ga sih udah
ngehancurin hubungan aku sama Andrean dulu? Apa sekarang dia juga mau
ngehancurin hubungan aku untuk yang kedua kalinya? Apa aku ga berhak untuk
bahagia?
©©©
Alfa melihat jam dinding
di kamarnya, sudah jam 4 sore. Sama halnya dengan Stefani, ia juga baru
terbangun dari tidur panjangnya setelah mengalami kejadian yang membuat dirinya
shock. Ya, apalagi jika bukan karena
Marry yang tak henti-hentinya meneror Alfa dengan isi pesan yang bernada
ancaman. Bahkan ada salah satu sms Marry yang berbunyi Kamu tahu kalau aku menderita
saat aku melihat kamu dan Stefani menjadi sepasang kekasih? Pasti engga kan? Mana
pernah kamu peduli sama aku? Saat kita masih pacaran dulu pun pasti kamu udah
deket sama dia kan? Kamu jahat Al! Kamu jahat! Dan ingat, aku akan membuat
kehidupan kalian lebih menderita dibanding kehidupan aku sekarang. Camkan itu!
Alfa sudah berulang
kali menjawab isi pesan itu dengan baik-baik, tapi Marry sama sekali tak
menanggapi apa yang dikatakan oleh Alfa. Ia tetap saja mengirimkan sms yang
jauh lebih mengancam dibanding isi sms yang sebelumnya. Ini membuat Alfa takut,
ia takut akan terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap Stefani. Ia khawatir
jika ancaman Marry benar-benar terjadi kepada dirinya dan Stefani. Kejadian ini
membuat Alfa semakin galau, ia bingung harus melakukan tindakan apa untuk saat
ini. Ini semua benar-benar di luar perkiraannya. Ia tak menyangka bahwa
hubungannya dengan Stefani akan menemukan sebuah permasalahan yang cukup rumit.
©©©
Sudah dua jam lebih
Faris meladeni sms dari Alfa dan Stefani. Mereka berdua saling curhat ke orang
yang sama. Faris sampai kebingungan harus membalas sms dari Alfa atau Stefani
duluan. Dua duanya sama sama membutuhkan saran yang akan diberikan olehnya.
Faris juga ikut merasakan bagaimana rasa kegalauan dan kekhawatiran yang sedang
menimpa kedua sahabatnya ini. Ia juga masih tak habis fikir, mengapa Marry
harus mencampuri urusan kedua sahabatnya itu ? bukan kah dia sudah tak punya
hak apa-apa lagi dalam hubungan mereka ?
Sudah pukul 8 malam.
Faris mulai kewalahan untuk menjawab pesan dari Alfa dan Stefani. Ia sudah
mulai mengantuk, tapi demi sahabatnya itu ia rela terus memberikan saran-saran
terbaiknya. 1 jam berlalu. Jam 9 malam. Ponselnya kembali berdering. Bukan
karena ada pesan masuk, tapi kali ini merupakan sebuah panggilan masuk. Entah
dari siapa, yang tertera di layar ponselnya hanyalah 12 digit nomor ponsel
seseorang. Ia bingung, siapa yang meneleponnya di waktu semalam ini ? Alfa ?
Stefani ? Ah tidak mungkin, keduanya kan sedang bersms ria bersama Faris.
Dengan santai ia menekan tombol berwarna hijau di ponselnya tersebut...
“Halo”
“Halo, benar ini dengan Faris ?”
“Ya, dengan saya sendiri. Ini siapa ? Ada perlu
apa ya ?”
Faris masih bingung
dengan identitas orang ini. Yang jelas penelepon ini pasti seseorang yang
misterius. Penelepon ini mengubah suara aslinya, sehingga tak begitu jelas
apakah dia seorang laki-laki atau seorang perempuan. Bahkan saat ditanya
identitasnya oleh Faris, penelepon ini tidak memberitahukannya sama sekali, ia
terkesan mengalihkan pembicaraan ke topik yang lain.
“Faris, aku dengar Alfa dan Stefani bisa menjadi
sepasang kekasih seperti ini karena bantuanmu ya ?”, tanyanya dengan nada yang
sangat pelan.
“Ya itu benar. Lalu kenapa ? ada masalah ?”
“Ga ada kok. Aku cuma mau kasih saran aja sih.
Kalau kamu masih sayang sama nyawa kamu, lebih baik kamu hancurkan hubungan
mereka berdua karena jika kamu terus membuat hubungan mereka semakin lama
semakin baik, maka nyawa kamu yang menjadi taruhannya”
“Apa ? nyawa ? aduh tolong ya ga usah bercanda
yang ga jelas gini deh. Aku rasa kamu itu seorang yang pengecut ya ? bahkan
kamu ga berani menyebutkan nama. Aku aja ga tahu kamu itu laki-laki atau
perempuan. Ngapain juga harus takut sama ancaman seorang PENGECUT ?”
“HEH ! jaga mulut LO ! GUE ga bercanda ya. Kalau
LO masih terus mempertahankan hubungan Alfa dan Stefani dan masih kurang ajar
sama GUE, jangan harap deh nyawa kalian bertiga bisa selamat !!”
“Dan GUE ga pernah takut sama ancaman seorang
PENGECUT ! CAMKAN itu baik baik di otak LO ! Ngerti ?!?!”
Tut... Tut... Tut...
Percakapan antara Faris dan penelepon misterius itu berakhir sudah. Entah siapa
yang mengakhirinya, yang jelas Faris tak mau mengambil pusing dengan ancaman
yang dikemukakan oleh “dia” tadi. Faris sama sekali tak takut dengan ancaman
itu. Ini hanya sebuah ancaman, bukan
tindakan. Ngapain juga harus ditakutin ?. Ya, begitulah fikiran seorang
remaja berusia 17 tahun ini.
Alfa dan Stefani sudah tidak menampakan dirinya
masing-masing pada inbox ponsel Faris.
Sepertinya mereka berdua sudah lelah dan tertidur. Baiklah, sepertinya tugasnya
sudah selesai. Faris juga segera membaringkan dirinya di tempat tidur,menarik
selimut, dan mulai memejamkan matanya untuk membawanya ke alam mimpi. Ya, kini
dia sudah tertidur. Tanpa dia sadari bahwa di ponselnya terdapat 1 pesan masuk
dari nomor penelepon tadi. H-4. masih ada waktu untuk kamu berubah
fikiran. Hancurkan hubungan Alfa dan Stefani, atau justru kamu lah yang akan
hancur. Ingat itu !.
©©©
“Hah ? Marry sms kaya
gini Al ? Apa maksudnya sih ?” Faris belum bisa menyembunyikan rasa
keterkejutannya ketika melihat semua pesan masuk di ponsel Alfa yang rata-rata
berasal dari pengirim yang sama. Ya, Marry. Berulang kali Faris membaca baik
baik isi pesan tersebut, ia masih shock ketika tahu bahwa ternyata Marry adalah orang yang senang memberi ancaman kepada
seseorang yang sedang tidak disukainya.
Alfa dan Faris berada
di perpustakaan sekolah –tempat biasa mereka bertemu dan mengobrol saat jam
istirahat tiba. Keduanya berbincang seputar masalah ancaman yang tak
henti-hentinya diberikan oleh Marry, mantan kekasih Alfa. Sepertinya Marry
benar-benar belum bisa menerima takdir jika harus melihat Alfa bersama dengan
Stefani, itulah fikiran keduanya. Faris kembali mengamati isi pesan dari Marry.
Yang ingin ia lihat adalah nomor ponsel Marry, ia ingin mencocokan nomor ponsel
Marry dengan nomor ponsel yang kemarin sempat menelepon dan mengancamnya juga.
Tapi ternyata kedua nomor itu berbeda.
“Oh iya Al, kemarin malem tuh sebenernya....”
Awalnya Faris ingin
memberitahukan tentang seorang misterius yang meneleponnya kemarin kepada Alfa,
tapi niatnya disimpan dalam-dalam ketika ponselnya mendapatkan satu pesan masuk
baru yang berbunyi Ingat Faris, kamu jangan bilang ke Alfa tentang hal ini. Aku rasa kamu
sendiri juga tahu bagaimana konsekuensinya jika membocorkannya.
Sebenarnya Faris sama sekali tidak takut dengan ancaman orang itu, tapi
menurutnya jika ia memberitahu tentang hal ini ke Alfa maka Alfa akan merasa lebih
tersudutkan dan akan merasa bahwa dirinya sudah terancam.
“Sebenernya apa Ris ?”
“Emmm... sebenernya sebentar lagi Stefani juga mau
kesini. Nah, itu orangnya !”, jawab Faris yang terpaksa harus berbohong –tapi
sebenarnya Stefani benar-benar datang ke perpustakaan.
“Hei kalian berdua”, sapa Stefani sambil duduk
disebelah Alfa.
Kini ketiganya saling
berbincang seputar masalah tadi –ancaman Marry. Mereka semua masih bingung,
apakah sebenarnya ancaman yang diberikan Marry itu asli atau hanya gurauan saja
? Stefani memperlihatkan beberapa isi pesan yang tentunya masih beraroma
ancaman yang diberikan oleh Marry Kalau kamu masih mempertahankan hubungan
kamu dengan Alfa, maka akan aku buat kamu menangis ! bukan menangis biasa, tapi
menangis darah ! ya, akan ada banyak darah jika kamu tidak memutuskan hubungan
kalian berdua !
“Gila ya si Marry ! apa maunya sih ? apa dia ga
bisa ngeliat kalian bahagia ? aku aneh deh sama dia !”, Faris mulai emosi dan
kembali melanjutkan pembicaraannya lagi, “Tapi aku rasa ya, itu Cuma sekedar
ancaman aja deh. Dia itu perempuan. Bisa apa coba seorang perempuan membuktikan
ancamannya ?”
“Tapi kamu ga tahu Marry Ris. Dia itu berbahaya
sebenernya”, Alfa menyenggah pernyataan Faris.
Baiklah, Faris tidak
ingin berbicara lebih jauh lagi. Ia sama sekali belum mengenal seseorang
bernama Marry, masa lalu Alfa. Lama-lama pembicaraan mereka bertiga tidak lagi
menjurus ke topik tentang Marry, melainkan ke topik pelajaran di kelas. Wajah
mereka yang semula terlihat tegang, kini berubah menjadi ceria bahkan dihiasi
oleh tawa satu sama lain. Semuanya sepakat untuk tidak lagi mengambil pusing tentang masalah ini. Inilah awal masa
depan mereka. Tak satu pun berhak untuk menghancurkannya, tak terkecuali Marry.
Tak terasa waktu istirahat pertama telah
habis. Alfa, Stefani dan Faris segera keluar dari perpustakaan untuk kembali ke
kelasnya masing-masing. Saat sudah berada di luar perpustakaan, secara tak
sengaja Faris menabrak Seila yang saat itu hendak masuk ke dalam perpustakaan
tersebut. Buku yang saat itu dipegang oleh Seila tanpa sengaja pula jatuh ke
bawah dan berserakan dimana-mana. Dengan refleks, Faris segera membantu Seila
untuk mengambil buku-buku tersebut.
“Aduh, maaf ya aku sengaja Sel”
“Lain kali kalau punya mata gunakan baik-baik dong
!”, jawab Seila dengan nada tinggi dan tatapan yang sinis sambil masuk ke ruang
perpustakaan.
“Sabar ya Ris. Kamu juga tahu lah Seila itu
orangnya seperti apa”
“Iya Al, aku ngerti kok. Yu ah kita ke kelas”
©©©
Ia masih bersembunyi di balik
lemari buku itu. Dapat ia lihat jelas bagaimana percakapan yang sedang
diperbincangkan oleh Alfa, Stefani, dan Faris beberapa menit yang lalu.
Ternyata dugaannya benar, jika hanya berupa ancaman saja tidak akan cukup untuk
membuat hubungan Alfa dan Stefani hancur. Kini ia sudah membulatkan tekad untuk
benar-benar membuktikan arti dari ancaman yang selama ini diberikan kepada
mereka bertiga. Ia benar-benar akan membuat semuanya menangis darah. Tak akan
ia biarkan siapa pun bahagia jika dirinya juga tidak bahagia.
Ia
segera menyimpan kembali buku fisika yang dari tadi dipegang olehnya ke
tempatnya semula dan mulai berjalan pelan menuju keluar perpustakaan untuk
kembali ke kelasnya. Seila sempat berpapasan dengan dirinya, “Hei, tumben kamu
ke perpustakaan. Jadi anak rajin nih sekarang ? hehe”. Ia sama sekali tak
menghiraukan ucapan Seila tadi dan langsung meninggalkan ruangan penuh buku itu
dengan wajah penuh dendam.
©©©
Kamis tanggal 23 Februari 2012
pukul 19.43, sms kedua dari seseorang misterius itu mulai menghiasi inbox di ponsel Faris. Sudah 4 hari ini
ia mendapatkan teror yang mulai mengancam hidupnya. Kini Faris sudah mulai
ketakutan dengan ancaman yang diberikan seseorang itu. Semakin hari ancaman
yang ia dapatkan semakin menjurus ke arah kematian. Bahkan yang menjadi
ancamannya kini bukan dirinya saja, tapi nyawa Alfa dan Stefani pun akan ikut
melayang. Faris masih ingat jelas bagaimana isi pesan yang membuat dirinya
ketakutan sampai saat sekarang ini.
Faris, besok
waktu kamu sudah habis. Jika sampai besok hubungan Alfa dan Stefani belum
hancur juga, maka kamu yang akan hancur alias mati. Oh iya satu lagi, jika kau
mati pasti kau akan kesepian kan ? oleh karena itu aku juga akan membuat
Stefani dan Alfa terbang bersamamu ke alam dunia yang lain. Ingat itu ya Faris
! waktu kamu ga lebih dari 24 jam.
©©©
Stefani masih duduk di meja
belajarnya sambil membaca buku pelajaran biologi –mengingat esok hari akan
diadakan ulangan pada pelajaran tersebut. Berbagai istilah biologi mulai dibaca
baik-baik, ia tak ingin mendapat nilai dibawah 75 yang artinya jika ia tak
mencapai nilai tersebut, maka ancaman remedial yang ditakuti semua para siswa
akan terjadi kepada dirinya sendiri.
Meski sudah pukul 9 malam,
Stefani tetap melanjutkan menghafal banyak materi yang ia baca dari berbagai
sumber buku. Namun ketika ia sedang serius-seriusnya menghafal, tiba-tiba
ponselnya berdering. Awalnya ia hanya berfikir bahwa ada pesan masuk di
ponselnya tersebut, tapi ternyata yang ada bukanlah sebuah pesan melainkan
sebuah panggilan masuk dari nomor yang tak dikenalnya.
“Halo... Stefani....?”
“Ya... siapa ya ?”, ia belum bisa menebak siapakah seseorang yang
meneleponnya tersebut. Bahkan ia juga masih kebingungan apakah yang
meneleponnya ini seorang wanita atau seorang pria ? orang ini benar-benar
misterius.
“Stefani, dengarkan aku baik-baik. Besok kamu akan mati....”
Hah ? mati ? siapa sih orang ini ? tiba-tiba nelpon langsung bilang
kaya gitu. Aneh deh. “Mati apa sih maksudnya ? ga usah bercanda ya”.
Stefani mulai emosi menanggapi orang yang tak jelas asal-usulnya ini.
“Kamu boleh percaya atau tidak. Yang jelas besok nyawamu akan terancam.
Tidak hanya kamu, bahkan orang yang kamu cintai saat ini pun akan ikut terancam
nyawanya. Ya, dia Alfa ! satu-satunya cara agar bisa menyelamatkan nyawa kalian
berdua adalah dengan cara memutuskan hubungan yang telah kalian rajut ini. Jika
kalian tak bersama lagi, maka semua akan baik-baik saja. Selamat malam Stefani,
sampai jumpa besok di hari kematianmu....”
“Halo ? Halo ? ini siapa sih ?, ah sial ! udah di tutup lagi ! apa yang
semua dikatakannya itu benar?”
©©©
Sudah pukul 9 malam, ia melihat layar ponselnya dan mencari nama kontak
seseorang. Ya, ketemu ! nama Alfa Lesmana dengan mudah dapat ditemukan. Tanpa
menunggu waktu lama, ia segera menekan tombol berwarna hijau di ponselnya itu
dan melakukan panggilan kepada orang yang dituju. Suara delay panggilan mulai terdengar di telinganya hingga setelah
beberapa detik kemudian, orang yang ditujunya menerima panggilan yang ia
berikan. Alfa mengangkat telepon dari orang itu.
“Halo... Selamat malam Alfa...”
“Malam, dengan siapa ya ?”
“Kamu ga perlu tahu siapa aku. Karena semua hasilnya akan
sama”
“Hasil ? sama ? aduh ngomong apa sih ? yang jelas dong”
“Alfa, perlu kamu tahu bahwa besok adalah hari yang
sangat penting bagi kamu dan Stefani. Karena besok kalian berdua akan pergi
dari dunia ini untuk selamanya hahaha. Dan ingat, ini bukan sebuah gurauan semata.
Ini nyata. Jika kau menganggap ini tidak serius maka kau akan menyesal. Ada
satu cara agar kau dan Stefani bisa selamat. Caranya adalah dengan memutuskan hubungan kalian berdua.
Akhiri hubunganmu dengan Stefani sebelum besok pukul 5 sore. Jika lebih dari
waktu yang ditentukan, maka kau dan Stefani akan MATI !!! Camkan itu baik-baik.
Aku ga main-main. Selamat malam....”
“Halo... Halo... Hei, jangan ditutup dong !!”
Tugasnya untuk malam
ini sudah selesai –memberitahukan kepada 3 orang yang dibencinya bahwa besok
akan menjadi hari penting bagi mereka. Kini semuanya bukan sebuah ancaman
biasa, tapi akan menjadi kenyataan. Kenyataan yang akan membuat takdir mereka
menderita dan takkan pernah bahagia lagi untuk selamanya. Ia membuka laci meja
belajarnya dan mengambil beberapa lembar foto disana. Dipandangnya foto-foto
berukuran 4R itu dengan tatapan yang tajam dan penuh dendam.
“Alfa, Stefani, Faris. Besok kita semua akan bertemu pada
sebuah permainan yang akan menguras semua perasaan kalian. Akan banyak darah
mendidih disini. Selamat menjalani permainan ini kawan hahaha”
©©©
“Apa ? jadi kamu udah pernah
ditelepon sama orang itu Ris ? kenapa kamu ga pernah bilang ?”, Alfa cukup
cerewet ketika mengetahui bahwa sebenarnya Faris telah lebih dulu pernah
ditelepon oleh seseorang yang misterius itu. “Kapan pertama kali dia nelepon
kamu Ris ?”, Alfa melanjutkan pertanyaannya.
“Hari Senin kemarin Al. Bukan maksud aku ga mau ngasih tahu kamu, tapi aku
ga mau bikin kamu tambah khawatir. Apalagi akhir-akhir ini kamu sama Stefani
lagi punya masalah sama Marry kan ?”
“Iya aku tahu, tapi seharusnya kamu tetep ngasih tahu aku dong ! Ah, semoga
Stefani ga ditelepon juga sama orang itu deh.
“Terlambat... Aku juga nerima
telepon dari orang misterius itu Al”, tiba-tiba Stefani datang ke perpustakaan
dan bergabung bersama Alfa dan Faris. Ini membuat Alfa sedikit terkejut.
“Apa ? kamu juga nerima teror itu Fan ? kapan ?”
“Kemarin malem Al. Aku juga kaget kenapa tiba-tiba orang itu bisa nelepon
aku. Siapa sih dia ? kayanya dia emang ga seneng banget deh sama hubungan kita.
Apa dia itu Marry ? dia kan orang yang paling kontra saat tahu bahwa aku sama
kamu jadian”
Marry. Ya, nama itu sempat
terlintas di fikiran Alfa dan Faris. Jika difikir-fikir memang hanya Marry lah
yang sangat tidak menyukai hubungan Alfa dan Stefani, mengingat akhir-akhir ini
juga Marry sering mengirimkan isi sms yang bernada ancaman kepada mereka berdua.
Bukti untuk menuduk Marry sebagai pelaku utama dalam kasus ini memang sudah
cukup lengkap, apalagi tak ada tersangka lain selain dirinya.
Tapi menurut Faris terlalu cepat
jika kita menuduh Marry sebagai pelakunya. Memang semua bukti sudah ada, tapi
sekejam itukah dirinya ? apa mungkin seorang wanita seperti dirinya tega akan
melakukan tindakan yang berhubungan dengan hilangnya nyawa manusia ? Jika dia
memang seorang wanita seperti itu, mana mungkin dulu ia pernah mempunyai
hubungan khusus bersama Alfa ? tapi lain lagi ceritanya jika memang Marry telah
berubah menjadi wanita yang kejam. Satu lagi, dia hanya sendiri. Apa mungkin
dia bisa membuktikan ancamannya itu jika hanya sendirian ?. Inilah beberapa
pendapat yang membuat Faris ragu jika menganggap Marry sebagai pelaku utamanya.
“Jadi sekarang kita harus bagaimana ? Jika ancaman itu benar, maka hari ini
juga nyawa kita akan terancam kan ?
“Tenang Fan. Kita jangan takut duluan gini. Belum tentu juga kan ancaman
orang itu akan benar-benar terjadi”, Alfa mencoba menenangkan Stefani.
“Sekarang gini deh. Kita bertiga ga boleh pisah setelah pulang. Kita harus
bareng-bareng terus, gimana ? oh ya kalian pulang jam berapa hari ini ?”, tanya
Faris.
“Aku ada latihan PMR sampai jam setengah 7”
“Kalau aku sih ada ekskul KIR sampai jam setengah 7 juga sih. Kamu sendiri
Ris ?”
“Aku latihan padus di sekolah sampai jam 5 sore. Oke, aku akan nunggu
kalian berdua sampai selesai. Pokoknya kita ga boleh pisah pas pulang ya. Ini
buat jaga-jaga aja”
Alfa dan Stefani setuju dengan
saran Faris. Kini ketiganya segera keluar dari gudang buku itu dan segera
kembali ke kelasnya masing-masing. Stefani kembali ke kelasnya bersama Cita
yang kebetulan bertemu dengan dirinya di depan perpustakaan. Sedangkan Alfa dan
Faris, keduanya pergi ke arah yang sama –mengingat kelas mereka bersbelahan.
Saat di depan kelas XI-IPS-1, Faris tidak sengaja menabrak Sundari –teman
sekelasnya yang saat itu sedang membawa banyak buku tulis milik teman-teman
sekelasnya untuk dikumpulkan di ruang guru. Alhasil, buku-buku tersebut
berserakan di bawah.
“Aduh, maaf ya Ri ga sengaja. Sini aku bantuin ngeberesin bukunya. Mau
dikumpulin di meja Pa Anwar ya ?”
“Gapapa kok Ris. Nyantai aja lagi. Iya nih mau dikumpulin ke meja Pa
Anwar”, jawab gadis berjilbab ini.
“Acieeeee kalian. So sweet banget deh”, Alfa mulai menggodai mereka berdua.
“Apa sih Al ? Oh ya Ri, aku bantuin kamu bawain buku ini ke kantor ya.
Kasian kamunya. Pasti berat kan?”
“Iya sih... hehe. Makasih ya Ris”, Sundari memberikan senyuman terbaiknya
kepada Faris.
Mereka berdua sudah hilang dari
pandangan Alfa, ia hanya tersenyum hambar melihat sahabatnya itu yang sampai
sekarang belum mendapatkan seorang kekasih. Padahal sebenarnya Faris telah 2
kali menyatakan perasaannya kepada 2 wanita yang berbeda. Pertama Seila, dan
yang kedua adalah Sundari. Tapi sayangnya, kedua wanita tersebut hanya
menganggap Faris sebagai sekedar teman saja, tak lebih.
Ada yang lebih miris, salah satu dari kedua wanita itu memberikan sikap
yang berbeda kepada Faris. Ya, dia adalah Seila. Semenjak Seila tahu bahwa
Faris menyukai dirinya, ia terkesan menjauhi Faris dan terkesan membenci pria
bertubuh mungil itu. Faris juga bingung kenapa sikap Seila benar-benar bisa
berubah seperti itu. Tapi yasudahlah, kini Faris sudah tidak mempunyai perasaan
apa-apa terhadap Sila maupun Sundari. Yang jelas, Alfa selalu mendoakan yang
terbaik untuk sahabatnya itu.
©©©
Gadis berambut pirang ini segera beranjak dari tempat duduknya saat ponsel
yang ia simpan di saku roknya tersebut memberikan sebuah getaran yang terasa
hingga ke tubuhnya. Gadis ini terpaksa harus meminta izin kepada guru yang
sedang mengajar di depan kelasnya dan harus berbohong untuk pergi ke kamar
mandi. Padahal tujuan sebenarnya adalah untuk mengangkat panggilan yang masuk
di ponselnya tersebut.
“Ya, Halo. Ada apa ? Iya aku inget. Jam 5 sore aku akan
datang kesana. Kamu juga harus udah disana ya. Aku malu kalau harus sendirian.
Sipp, bye....”
Dengan sigap gadis itu
menutup percakapannya dengan seseorang itu dan segera keluar kamar mandi untuk
segera bergabung bersama teman-temannya untuk mengikuti pelajaran Kimia. Gadis
ini menatap kosong ke arah papan tulis, Matanya memang memandang ke arah
tersebut, tapi fikirannya sudah melayang jauh ke arah yang lain. Otaknya masih
sibuk memikirkan bagaimana rencana yang akan dijalaninya untuk sore nanti. Ia
hanya tersenyum sinis, berharap semua rencana yang sudah ia susun rapih dapat
berjalan dengan lancar.
©©©
Bersambung...
No comments:
Post a Comment