Tuesday, February 28, 2012

Kisah Kita

Postingan ke empat untuk blog saya :) Ini sebuah fan fiction yang menokohkan tokoh komik favorit saya, Shinichi dan Ran Mouri. Selamat membaca :D


                Malam itu alunan nada indah tercipta dari alat musik bernama piano yang dimainkan oleh seorang gadis cantik. Ran mouri, itulah namanya.
            Ia tengah menunggu kekasihnya, Shinichi Kudo. Mereka berdua akan merayakan hari jadi hubungan mereka tepat yang ke-2 tahunnya. Ran berharap hubungannya dengan Shinichi akan abadi sampai maut memisahkan mereka.
Sambil menunggu Shinichi, Ran terus memainkan alat musik itu. Alunan suara piano tersebut benar-benar indah untuk didengar. Ia berharap kekasihnya itu dapat segara datang dan melihat bagaimana kehebatannya dalam bermain piano ini.
Shinichi, cepatlah datang. Aku menunggumu. Itulah yang selalu terfikirkan olehnya. Ia tak mau gaun indah yang sudah ia kenakan tak berarti apa-apa pada malam ini. Padahal malam ini adalah peristiwa yang sangat penting bagi keduanya.
Ternyata penantian Ran tidak sia-sia. Tak lama kemudian Shinichi datang memakai pakaian yang gagah dan rapih, sangat serasi dengan pakaian yang dikenakan Ran.
Dari arah berlawanan tempat Ran mamainkan piano, Shinichi datang perlahan mendekatinya dengan membawa setangkai bunga mawar merah. Sungguh suasana yang romantis.
Malam semakin indah dengan adanya  lilin-lilin kecil yang dipasang disekitar tempat Ran bermain piano. Cahaya lilin-lilin tersebut nampak memberi setitik kehangatan di tengah dinginnya malam.
“Selamat malam Ran”, suara Shinichi benar-benar membuat Ran senang.
“Shinichi, kau datang ?”
“Tentu saja, aku tak mungkin melewatkan hari ini. Ini mawar cantik untukkmu. Tapi cantiknya mawar ini tidak secantikmu Ran”
“Kau bisa saja Shinichi, terimakasih ya”, jawab Ran sambil menerima mawar tersebut.
Kini keduanya duduk menghadap piano yang tadi dimainkan oleh Ran.
“Ayo Ran, coba kau berikan satu lagu untukku”
Tanpa menunggu waktu lama, Ran segera memainkan alat musik tersebut. Dan seperti biasanya, lantunan musik yang diciptakan betul-betul indah. Tak heran Shinichi tampak terpana melihat Ran seperti ini.
“Kemampuan memainkan pianomu masih sangat hebat ya”
“Terimakasih Shinichi, ini juga berkat kamu”
“Oh iya Ran, apa kau ingat saat pertama kali kita bertemu ?”
“Tentu saja aku ingat. Kita pertama kali bertemu saat SMA, di SMA Teitan. Iya kan ?”
“Iya, itu benar. Aku benar-benar tak bisa melupakan kejadian itu...”
****
 Shinichi        
Pagi itu aku sangat terburu-buru ingin segera masuk ke kelas karena aku tahu saat itu aku sudah terlambat. Tapi saat aku akan masuk ke kelasku, tiba-tiba kau keluar dari sana dan tak sengaja menabrakku. Buku yang kau bawa berjatuhan di lantai. Tentu saja aku ikut membantumu untuk mengambil buku-buku tersebut. Tapi secara tidak sengaja, saat aku hendak mengambil salah satu buku yang jatuh, tanganmu berada tepat di atas tanganku.
            Dan saat itu kita saling menatap mata kita masing-masing.
“Maaf ini semua salahku”, kau memohon maaf padaku.
“Tidak tidak, ini salahku”
“Aku murid baru disini. Dan ternyata aku salah masuk kelas. Seharusnya aku berada dikelas sebelah. Ini semua salahku, maaf”
“Oh iya tidak apa-apa”, jawabku sambil terus menatap matamu.
            Tapi kau langsung bergegas meninggalkanku dan masuk ke kelasmu yang seharusnya. Rambut panjangmu yang terurai bebas benar-benar menarik perhatianku. Tapi sayangnya aku belum tahu siapakah namamu atau hal lainnya yang berkaitan denganmu.

Saturday, February 11, 2012

Penantian.... (Part 2)


Saya kembali dengan cerita yang galauuu hahaha :D ini part 2 nya nih, silahkan baca ya ... :) mungkin bisa dibilang cerita ini udah selesai, tapi... aku bikin cerita baru yang masih ada hubungannya dengan cerita ini, so... enjoy with my story :D




September 2010
            Aku bergegas dari ruangan tempatku latihan teater --ekstraulikuler yang aku ikuti-- menuju gerbang sekolah untuk segera pulang dan istirahat setelah 3 jam aku tidak keluar dari ruangan seni itu. Ya, aku adalah pencinta seni teater dan setiap hari Jum’at dan Sabtu aku mengikuti kegiatan ini setelah semua jam pelajaran berakhir.
            Jam 5 sore, itulah waktu yang kuingat saat mengakhiri kegiatan teater ini. Tapi untuk memastikannya lagi, kulihat jam tangan yang ada di lengan kiriku ini. Lho, kemana jam tanganku ? bukankah hari ini aku memakainya ? apa tertinggal diruang teater ? sepertinya iya.
            Masih dengan seragam putih abu-abu ini, aku segera balik arah menuju ruang teater untuk mengambil jam tangan tersebut. Aku yakin disana pasti sudah tidak ada orang, karena yang kuingat saat ku keluar dari ruangan itu hanya ada aku dan kedua temanku yang lain, yaitu Dika dan Indra dan kuyakin mereka berdua pasti sudah pulang.
            Ternyata dugaanku salah, saat ku kembali ke ruang teater ini masih ada salah satu temanku, Yumi.
“Kau belum pulang Yumi ?”, tanyaku sopan.
Dia tak menjawab pertanyaanku dan segera keluar dari ruangan ini menuju ke gerbang sekolah dengan wajah yang sedikit jengkel. Ada apa dengan dia ? Pasti gara-gara masalah itu. Sejak 6 bulan yang lalu, sikapnya berubah drastis kepadaku. Mungkin aku adalah laki-laki yang sangat dibencinya karena peristiwa 6 bulan yang lalu. Peristiwa yang membuat hidup kami berdua berubah.
“Tunggu Yumi !”, aku memanggilnya untuk mengatakan sesuatu padanya.
“Apa sih ? kamu itu bisanya ganggu orang aja ya ? aku buru-buru nih !”
“Yumi, ada hal yang ingin aku bicarakan padamu”
“Apa itu ? aku beri kamu waktu 5 menit, cepat katakan !”
“Apa ? 5 menit ?”
“4 menit...”
“Baiklah, dengar Yumi. Sepertinya kamu tahu masalahnya. Berbulan-bulan yang lalu saat kau ulang tahun aku mengungkapkan perasaanku bahwa aku cinta padamu. Tapi saat itu juga sikapmu dengan perlahan semakin lama semakin berubah bahkan terkesan membenciku. Ada apa sebenarnya ?”
“3 menit...”
“Yumi, aku serius. Cepat jawab !”
“Apa perlu jawaban ?”, tanyanya sinis.
“Tentu, aku butuh jawaban logis !”
“Aku benci kamu ! ngerti ? itu logis kan ?”
“Itu bukan alasan logis. Apa yang membuatmu membenci aku ?”
“Fikir sendiri ! maaf waktumu tinggal 2 menit”
“Tolong Yumi, beritahu aku dengan cara apa agar kamu berubah seperti dulu lagi ?”
“Ga ada, aku sudah terlanjur membencimu, maaf aku tak punya waktu lagi. Aku harus pergi”
Yumi bergegas meninggalkanku saat itu, tapi aku tak bisa membiarkannya pergi begitu saja. Aku mengejar Yumi, memegang tangannya dengan erat tapi ia segera melepaskannya, seakan aku ini benar benar tidak diinginkan dihidupnya.
“Kamu itu apa sih maunya ?”, Yumi benar-benar marah.
“Tolong Yumi, jangan seperti ini. Ini bukan Yumi yang aku kenal. Yumi yang aku kenal bukan orang seperti ini. Yumi yang dulu bukan orang yang pemarah, bukan orang yang pendendam. Tapi kenapa ? kenapa kamu jadi seperti ini ? apa karena aku cinta sama kamu membuatmu seperti ini ? Apa sih salahku ? sampai sampai kau jadi begini, padahal kita kan masih bisa jadi teman Yumi...”