Tuesday, December 31, 2013

Light Fire in The Silence




 Light Fire in The Silence

Suasana malam kota Jogja rasanya tidak pernah berubah di mata Clarisa. Ramai, bising, indah, padat akan individu, dan… kesendirian. Ia sudah terbiasa mengasingkan diri dari teman-temannya dan sengaja berkeliling Jalan Malioboro untuk sekadar menghabiskan waktu setelah bermain biola saat di rumahnya tadi.
Dengan tanpa semangat, ia terus menggerakkan kaki di tengah kerumunan individu yang semakin memadati trotoar jalan. Sesekali ia mendongak, memperhatikan langit malam yang begitu pekat tanpa ada bintang yang melengkapi. Seperti hatinya, begitu kosong dengan beban berat yang selalu menghantui kehidupannya setiap hari.
Clarisa merapatkan jaketnya lebih erat. Entah mengapa, suhu malam kota Jogja menjadi lebih dingin dari biasanya. Namun, ia tak menyadari kotak kecil yang disimpan dalam saku jaketnya jatuh. Ia tidak menghiraukan itu, tetap memandang lurus ke depan tanpa menghentikan langkahnya.
Ketika berjalan, ia melihat seorang laki-laki datang dari arah berlawanan. Mata mereka sempat bertemu. Namun, sedetik kemudian keduanya kembali pada pandangan masing-masing, berjalan ke arah berbeda dengan tempat tujuan yang juga berbeda.
Clarisa menghentikan langkahnya sejenak, berpikir sesaat untuk mengingat wajah laki-laki tadi. Rasanya ia pernah melihat sosok itu, tapi ia tak mengingatnya lebih jauh lagi.
Ia kembali berjalan dengan langkah yang semakin dipercepat. Ini bukan saatnya untuk memikirkan hal yang tidak penting.
***
Ini hari kelima ia berada di Jogjakarta. Maka, ia tak ingin melewatkan momen berharga di kota yang istimewa ini. Malioboro menjadi sasaran utamanya. Orang bilang, belum lengkap rasanya jika berada di Jogjakarta tanpa mampir ke tempat ini.
Benar saja, ternyata jalan yang dipadati oleh pedagang kaki lima ini menyimpan kenangan tersendiri di benak laki-laki berusia 19 tahun itu. Ia bisa membeli barang-barang khas Jogjakarta dengan harga miring, bahkan masih bisa melakukan proses tawar menawar di tengah transaksi bersama sang penjual.
            Satu tas berukuran sedang terus digenggam oleh tangan kirinya. Ia melanjutkan perjalanan menyusuri Malioboro, memanjakan matanya dengan pemandangan khas kota Jogja yang hanya setahun sekali akan ditemuinya.
            Saat ia berjalan, ia melihat seorang gadis berambut ekor kuda datang dari arah berlawanan. Mata mereka sempat bertemu. Namun, sedetik kemudian keduanya kembali pada pandangan masing-masing, berjalan ke arah berbeda dengan tempat tujuan yang juga berbeda.
            Ia melihat ada kotak kecil tergeletak sembarangan di aspal jalan. Ia mengambilnya, kemudian melihat ke sekeliling untuk menemukan siapa pemiliknya. Matanya tertuju pada seseorang yang beberapa detik lalu dijumpainya. Ia yakin, pemilik kotak ini adalah gadis berambut ekor kuda itu yang belum jauh dari jarak pandangnya.
            “Hei, tunggu!” Ia berusaha memanggil, namun orang yang dimaksud tak kunjung berbalik arah.
            Ia berjalan sedikit cepat menembus beberapa orang yang memadati jalan, lalu meletakkan telapak tangannya di pundak gadis tersebut. Mata mereka bertemu lagi. Dan kali ini ia tahu bahwa gadis ini adalah seseorang yang dicarinya.
            “Ka-kamu?” Ia bertanya seraya menggerakan jari telunjuk.
            Tak ada respon. Lawan bicaranya hanya menatap dengan kening mengerut.
            “Ini punya kamu, kan? Tadi jatuh di jalan.”
            Gadis itu mengambil barang yang memang miliknya, lalu pergi begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih.
***
Clarisa membuka jendela kamarnya. Dilihatnya matahari mulai meninggi dengan kemilau cahaya yang membuatnya memicingkan mata. Ia mengalihkan pandangan ke kalender duduk di meja belajarnya. Hari ini tanggal 30 Desember. Itu berarti sudah 5 tahun lamanya peristiwa itu berlalu, peristiwa yang pelan-pelan mengikis senyum di wajahnya.
            Sebenarnya, ia tak ingin mengingat kejadian itu lagi. Namun, semakin ia berusaha melupakan, bayang-bayang peristiwa itu seakan datang tanpa diundang untuk mengusik kehidupan. Hal ini selalu membuatnya tidak nyaman.
            Di tengah lamunnya saat itu, ponselnya berdering. Tertera nama Yasmin pada layar. Ia menekan tombol hijau, lalu memindahkannya ke telinga kanan.
            “Halo, Sa? Ada di rumah, kan? Jalan-jalan ke Keraton yuk hari ini. Aku jemput jam 10 di rumah kamu, ya. Nggak usah banyak tanya dan jangan menolak. Ini perintah dari sahabat lo sendiri. Bye…”
            Percakapan berakhir. Ia tahu betul bagaimana sikap Yasmine jika sedang bicara, sungguh cerewet,  seakan tanpa menciptakan jeda pada setiap desah napasnya.
            Maka, Clarisa segera bergegas untuk mempersiapkan diri. Ia yakin, dengan kehadiran sahabat yang sudah dikenalnya sejak masa kecil itu akan membantunya melupakan sejenak tentang kesedihannya hari ini. Semoga.
***
Ini hari keenam ia berada di kota Jogjakarta. Kesempatan ini ia gunakan untuk datang ke kawasan Keraton bersama temannya, Alvan.
            Kota Jogja memang selalu panas. Terik mataharinya membuatnya dan temannya itu terpaksa mengenakan topi untuk mengurangi cahaya matahari yang akan membakar kulit mereka.
            Ia mengambil beberapa objek gambar melalui kamera SLR yang dibawanya dari Bandung. Kenangan harus dipelihara, itulah katanya. Maka, sering kali ia membawa kamera kesayangannya itu untuk memotret apapun yang menurutnya akan menyimpan serpihan kenangan baru.
            “Kemarin malem gue ketemu sama cewek itu lagi,” ucapnya singkat tanpa mengalihkan pandang dari lensa kamera.
            Alvan mengangkat kedua alisnya. “Oh, ya? Yakin?”
            “Iya. Kemarin waktu gue jalan sendiri di Malioboro.”
            “Terus?”
            Ia menceritakan secara rinci bagaimana proses pertemuan tak terduga itu berlangsung.
            “Lo temuin cewek itu, dong.”
            “Kalau gue bisa. Tapi, rasanya sedikit sulit.”
            “Kita langsung masuk ke dalem, yuk.” Alvan mencoba mengalihkan pembicaraan.
***
Sebenarnya Clarisa bosan harus mengunjungi tempat wisata Keraton ini lagi. Ia lahir dan dibesarkan di Jogja. Sudah ratusan kali rasanya sejak ia kecil sering mengunjungi tempat beresejarah ini. Dan, jika bukan karena Yasmin yang mengajaknya, maka ia lebih memilih untuk menghabiskan waktu di dalam kamar, memainkan alat musik kesayangannya seorang diri.
            “Foto, yuk!” Yasmin meraih ponsel androidnya, lalu sengaja mendekatkan diri ke arah Clarisa untuk mengabadikan momen ini. Sahabatnya itu menatap ke arah kamera dengan senyuman yang sedikit dipaksakan.
            Yasmine merangkul Clarisa. Ia tahu betul apa yang ada di dalam pikiran gadis ini. Maka, ia mencoba memberi ketenangan, kehangatan, serta kasih sayang yang hanya bisa didapat dari seorang sahabat.
            “Gue sengaja ajak lo jalan-jalan. Seenggaknya, lo bisa sedikit melupakan peristiwa itu. Sekarang waktunya kita seneng-seneng. Masuk ke dalem, yuk!”
            Clarisa tersenyum, namun ini senyuman yang tulus, tanpa sedikit keterpaksaan. Ia mengikuti langkah Yasmin, masuk ke dalam Keraton bersama wisatwan lainnya yang sengaja datang untuk menghabiskan hari-hari terakhir tahun ini di Jogjakarta.
            Teriknya kota Jogja tidak menyurutkan semangat mereka. Keduanya berkeliling di dalam Keraton, menyaksikan peninggalan-peninggalan masa lalu yang sengaja diabadikan di tempat ini.
            “Kamu?”
            Suara itu membuat Clarisa dan Yasmin kompak berbalik arah dan melihat ada dua laki-laki bertopi yang sedang berdiri di hadapan mereka. Mata Clarisa tertuju pada laki-laki berbaju putih. Orang ini adalah yang ditemuinya kemarin malam, yang mengembalikan kotak kecil berharga miliknya.
            Kenapa dia ada di sini?
            Yasmin memandang heran. Mereka jelas orang asing.
            “Kalian siapa?” Tanya Yasmin hati-hati.
            “Aku Rasel, dan ini teman aku, Alvan. Kemarin malem aku nggak sengaja ketemu sama temen kamu ini.” Rasel memandang tajam kea rah Clarisa.
            “Maksud kamu...”
            “Clarisa. Nama kamu Clarisa, kan?” Rasel memotong pembicaraan, tanpa mengalihkan pandang dari wajah Clarisa.
            Yasmin sedikit panik, ia takut orang yang baru dikenalnya ini bukanlah orang baik-baik. Ia menarik lengan Clarisa, lalu segera menjauh dari hadapan dua laki-laki itu.
            “Maaf, kita nggak punya waktu banyak.”
            Rasel mencoba untuk mengejarnya, namun Alvan sengaja menahan.
            “Rasel, gue udah bilang, kan? Ini bukan waktu yang tepat! Lo harus sedikit bersabar dan nggak bisa datang tiba-tiba gini.”
            “Tapi, Van, gue…”
            “Nanti malem lo coba ke rumahnya.”
            Rasel mengangguk mantap.
***
Malam itu Clarisa sengaja berdiam diri di halaman belakang rumahnya yang dipenuhi rumput hijau. Ia ingin merasakan bagaimana dinginnya kota Jogja, menatap langit gelap tanpa bintang, dan memainkan biola untuk mengusik sunyinya malam.
            Maka, ia sengaja membawa biolanya itu ke sini, dan mulai memainkannya dengan penuh perasaan. Melodinya indah, nada yang tercipta nyaris sempurna, dan angin malam yang meniup halus helaian rambutnya itu membuat Clarisa seperti pemain biola yang sudah professional.
            “Kamu suka main biola, ya?”
            Suara itu seketika membuat dirinya bergetar dan langsung menghentikan permainannya. Itu suara laki-laki bernama Rasel yang ditemuinya saat di Keraton tadi siang.
            “Maaf, apa aku ganggu?”
            Clarisa menatap Rasel dengan sorot mata tajam. Ia bertanya dalam hatinya, bagaimana mungkin laki-laki ini dapat mengetahui alamat rumahnya, bahkan sampai bisa masuk ke halaman belakang dan mengintipnya yang sedang sendirian.
            “Ada yang mau aku bicarakan.” Rasel mencoba membuka topic.
            Clarisa bingung. Ia sama sekali tak mengenali Rasel, tapi laki-laki bertubuh tinggi itu seperti tahu bagaimana luar dalam kehidupannya. Apa dia pernah bertemu dengannya pada satu waktu yang tidak ia ingat? Entahlah, untuk memikirkannya saja Clarisa terasa malas.
            “Ini tentang…” Rasel melanjutkan.
            Clarisa langsung pergi tanpa pamit. Ia berjalan cepat ke dalam rumah dengan meninggalaan Rasel yang mematung tanpa geming melihat kepergiannya.
            “Risa, aku mohon dengar aku!”
            Gadis itu berhenti sejenak dengan membelakangi Rasel.
            “Clarisa, mungkin kamu nggak mengenal aku secara dalam. Tapi, aku tahu kamu. Aku tahu tentang keluarga kamu. Dan bahkan, aku tahu tentang peristiwa apa yang terjadi lima tahun lalu yang dialami sama kamu.”
            Bagaimana mungkin dia bisa tahu?
            Clarisa melanjutkan langkahnya, ia tetap tak ingin mendengar apa yang dikatakan Rasel. Ia sudah cukup senang dengan kehadiran Yasmin yang berusaha untuk menghiburnya, melupakan sejenak tentang peristiwa itu. Tapi, tiba-tiba laki-laki ini datang tanpa permisi, membuka kenangan lama yang seharusnya tidak pernah diingatnya lagi.
            Clarisa menangis. Terlalu berat rasanya untuk menanggung beban ini sendirian. Maka, ia melepas sesuatu yang ada di telinganya, lalu memasukannya ke dalam saku celana. Dengan begini, kesunyian akan menyelimutinya, dan ia bisa sedikit lebih tenang.
            “Risa, aku mohon jangan lepas alat pembantu pendengaran kamu itu!”
            Lagi-lagi tak ada respon. Percuma, gadis itu tak akan bisa mendengar ucapannya.
***
Ini hari ketujuh Rasel berada di Jogjakarta. Biasanya, dengan semangat ia akan mengajak Alvan, temannya yang sengaja ia ajak dari Bandung, untuk berkeliling kota ini. Tapi, hari ini semangatnya seakan luntur. Sejak kejadian kemarin malam, ia tidak banyak bicara.
            Bro, jangan lesu gitu dong. Nanti malem kan kita mau tahun baruan di Malioboro.” Alvan mencoba memberi semangat.
            “Makasih.”
            Ini hari terakhir mereka berdua berada di Jogjakarta. Rasel sengaja ingin menghabiskan malam tahun baru di kota yang istimewa, bersama teman terdekatnya di kampus, dan tentunya dengan harapan melihat kembang api pergantian tahun bersama Clarisa.
            Namun, ia juga tahu, Clarisa tidak akan pernah mau jika diajak untuk melihat pesta kembang api. Clarisa bukannya tidak suka melihat kilau kembang api yang menyala indah mewarnai pekatnya malam. Ia hanya tidak suka suaranya, suara ledakan yang berhasil melukai gendang telinganya hingga ia tak bisa lagi mendengar.
            Sejak saat itu, Clarisa menghindari sesuatu yang berhubungan dengan kembang api. Ia mungkin masih bisa melihat warna-warni cahaya yang akan bertaburan pada perayaan malam tahun baru, namun ia tak akan mendengarnya. Ia akan sengaja melepaskan alat bantu pendengarannya dan hanya mengandalkan indera pengelihatannya, bukan indera pendengaran.
            Rasel beranjak dari kursi, menginggalkan Alvan sendirian, lalu mencari Tante di seisi rumah untuk meminta pertolongan.
            “Ada apa, Rasel?”
            “Tante bisa tolong telepon Nek Rahmi? Tolong tanyain apa Clarisa ada di rumahnya atau enggak.”
            Tantenya tersenyum, wanita berusia 40 tahunan itu tahu betul apa yang diinginkan keponakannya itu. Dan tanpa menunggu waktu lama, informasi tentang Clarisa sudah berhasil diperolehnya.
***
Rasel melangkah keluar rumah untuk menemui Clarisa. Hanya perlu waktu tiga menit untuk berjalan kaki, maka ia akan sampai di rumah gadis itu, yang sudah lama tinggal bersama neneknya.
            Ia tak bisa melupakan bagaimana awal pertemuannya bersama Clarisa. Saat itu usianya baru 16. Seperti tahun-tahun sebelumnya, saat akhir tahun tiba, Rasel akan datang ke rumah Tante Rosa di Jogjakarta dan berkumpul bersama keluarga besar untuk menyaksikan detik-detik pergantian tahun.
Ia datang menggunakan mobil pribadi dan duduk di bangku tengah dekat jendela. Laju mobil yang tidak terlalu kencang dapat membuatnya melihat secara jelas kompleks perumahan ini dengan seksama.
Lalu tanpa sengaja, matanya tertuju pada seorang gadis seusianya yang sedang berjalan membawa sebuah alat musik. Itu biola, dan Rasel sangat menyukai musik yang diciptakan oleh alat musik tersebut. Ia hanya menatap gadis itu untuk beberapa detik, tanpa ada perasaan khusus.
Keesokan harinya Rasel diajak oleh Tante Rosa berkunjung ke salah satu tetangganya. Dan saat itulah pertama kalinya ia mendengar alunan musik itu secara langsung yang dimainkan oleh Clarisa. Sejak itu, ada rasa kagum tumbuh di dalam hatinya.
Saat perayaan tahun baru tiba, Rasel begitu gembira bersama keluarganya. Mereka mengadakan pesta kecil di halaman depan rumah, membakar jagung, daging, meniup terompet serta menyalakan kembang api yang meledak-ledak di udara. Sungguh sempurna.
Malam itu juga, Rasel melihat Clarisa sedang berlari terburu-buru melewati rumahnya. Dan tanpa sadar, gadis itu menjatuhkan kotak kecil yang akhirnya tergeletak di aspal jalan. Rasel memungutnya, lalu melihat isi dari dalam kotak tersebut.
Headset? Tapi bentuknya sedikit aneh.
Rasel mencoba memanggil Clarisa dengan sebutan “Hei, Kamu”, tapi gadis itu tidak mendengarnya, terus berlari meninggalkan Rasel yang masih kebingungan.
Sehari kemudian Rasel tahu dari Tantenya bahwa tetangganya itu ternyata mempunyai masalah dalam pendengaran dan harus mengunakan alat bantu yang dipasang pada telinganya. Rasel juga tahu, bahwa isi dari kotak kecil kemarin bukanlah sebuah headset.
Rasel menggelengkan kepalanya, ia mencoba menepis sejenak tentang kejadian tiga tahun yang lalu itu. Sekarang, ia sudah berdiri di pintu rumah Clarisa. Ia mengetuk pelan dengan debaran jantung yang tak tertahankan. Beberapa detik kemudian, seorang gadis berambut ekor kuda datang membukakan pintu, dengan alat bantu pendengaran yang terpasang halus di telinganya.
***
Clarisa menatap benda di meja itu dengan tatapan heran. Sebuah kamera SLR? Milik siapa? Ia menanyakan pada Neneknya yang sedang memasak di dapur tentang kamera tersebut. Dan Neneknya berkata bahwa itu milik Rasel, laki-laki yang singgah ke halaman belakang rumahnya saat kemarin malam.
            Clarisa menatap sebal. Laki-laki itu lagi. Sebenarnya siapa dia? Kenapa Nenek bisa kenal?
            Ia sengaja menghidupkan kamera SLR itu, lalu dengan iseng melihat gambar apa saja yang sudah menjadi objek pemotretan Rasel. Dan gambar terakhir yang terlihat jelas pada layar kamera adalah fotonya sendiri. Itu Clarisa yang sedang memainkan biola kemarin malam. Tidak hanya satu, tapi ada beberapa. Ia semakin bingung dan tak mengerti.
            TOK! TOK!
            Ada tamu. Clarisa berjalan ke arah depan, lalu membuka pintu tanpa melepaskan kamera SLR itu dari genggamannya. Dilihatnya Rasel sudah berdiri tegak di sana, hanya mengenakan kaos putih polos dengan pasangan celana jeans biru tua.
“Maaf ganggu, aku mau ambil kamera aku yang kemarin…”
Rasel membiarkan suaranya berhenti dan menggantung di udara. Ia mendadak bisu saat melihat kamera itu sudah berada di tangan Clarisa.
Clarisa pun tampak salah tingkah. Ia ingin bicara sesuatu, namun tak sanggup.
“Terima kasih.” Rasel mengambil alih kamera miliknya, lalu berbalik arah untuk kembali ke rumah Tantenya.
Tunggu, Rasel!
Rasel menghentikan langkah, ia lupa harus mengatakan sesuatu kepada gadis ini.
“Oh iya, malem nanti aku tunggu kamu di Malioboro ya. Kalau mau, kita lihat pergantian tahun bareng-bareng. Kalau cuma aku berdua sama Alvan rasanya kurang seru. Kamu boleh ajak Yasmin nanti. See You.
Punggung Rasel akhirnya menghilang dari pandangan Clarisa.
Kamera itu, laki-laki itu. Apa mungkin dia adalah…
Ingatannya kembali tersapu oleh kenangan lama. Ia ingat dulu pernah ada seorang remaja yang diam-diam memotretnya saat sedang memainkan biola di halaman belakang. Saat ia menoleh ke arah kamera, laki-laki itu panik dan segera berlari dari hadapannya.
Apa mungkin Rasel adalah laki-laki itu?
***
Pukul sembilan malam. Suasana Jalan Malioboro sudah mulai dipadati oleh banyak individu, baik itu pejalan kaki, pengendara kendaraan bermotor, ataupun pedagang yang masih setia menemani wisatawan di trotoar jalan. Rasel dan Alvan pun demikian, mereka berdua ikut memenuhi jalan ini untuk bersama-sama merayakan malam pergantian tahun.
            “Lo aneh, deh. Masa lo nyuruh Clarisa dateng ke sini buat nemenin kita, sementara suasana Malioboro udah dibanjiri sama manusia. Gimana cara lo nyari?”
            Rasel hanya diam, membiarkan temannya itu terus bicara dan menasehatinya seperti anak kecil kehilangan balon berbentuk kotak. Ia tahu, mungkin permintaannya terasa konyol. Lain lagi ceritanya jika ia memberi tahu tempat pertemuan di tempat yang lebih spesifik.
            Tapi, ternyata Clarisa memang ada di Malioboro juga, bahkan terlihat sekilas oleh mata Rasel.
            “Itu Clarisa, Van!”
            “Hah? Mana?”
            Lagi-lagi Rasel tidak menghiraukan apa yang dikatakan Alvan. Ia berlari menembus kerumunan orang di jalan dengan perasaan yang tak menentu. Ia sangat yakin tadi ada Clarisa di depan matanya.
            “Clarisa! Clarisa!” Tak hentinya ia memanggil nama itu, tapi gadis yang dicari seolah lenyap tanpa jejak.
            Apa mungkin Clarisa lagi nggak memakai alat bantu pendengarannya itu?
            Rasel meraih ponsel yang ia simpan di saku jaketnya, mencari nama Alvan, lalu meneleponnya.
            “Bro, lo mau tunggu di sana sendiri apa ikut gue?” Tanya Alvan dengan desah napas yang tak teratur.
            “Hah? Maksudnya apa?”
            “Gue mau nyusul Clarisa ke rumahnya.”
            “Tadi katanya lo lihat Clarisa di sini.”
            “Mungkin itu cuma perasaan gue aja. Gue yakin dia masih di rumah. Ya udah, lo dateng ke rumah Tante gue aja dulu. Nanti jam sebelas kita ke Malioboro bareng-bareng lagi.”
            “Gue nggak ngerti. Halo? Halo?”
            Percakapan selesai.
***
Clarisa masih berdiam diri di halaman belakang bersama sahabatnya, Yasmin. Sejak lima tahun lalu, sejak ia kehilangan pendengarannya, ia salalu melewatkan malam tahun baru di sini, ditemani oleh sahabat yang tak hentinya selalu menemani dari tahun ke tahun tanpa memandang kekurangannya.
            “Tiap tahun kita selalu aja gini.” Yasmin membuka topik. “Melihat kembang api, bakar jagung, atau niup terompet.”
            Clarisa menuliskan sesuatu pada lembar bukunya, lalu memperlihatkannya kepada Yasmin.
            Makasih ya udah mau jadi sahabat aku :)
            Yasmin memeluk Clarisa erat. Ia tak bisa lagi menahan air mata yang akhirnya jatuh membasahi pipi.
            “Sama-sama, Clarisa. Gue seneng bisa jadi sahabat lo.”
            Sekali lagi, Clarisa menuliskan sesuatu.
            Cuma kamu yang tulus sayang sama aku. Aku beruntung bisa punya sahabat kayak kamu.
            Air mata Yasmin semakin menjadi. Ia janji akan tetap setia menjadi sahabat Clarisa sampai kapanpun dan dalam keadaan apapun. Ia tahu, persahabatan memang harus menutupi kekurangan sahabatnya.
            “Clarisa!”
            Suara itu mengganggu kedamaian keduanya. Itu Rasel, berdiri di belakang Clarisa dan Yasmin dengan napas yang tak teratur, dan dengan keringat yang membasahi pelipis.
            “Kamu lagi? Apa sih mau kamu?” Yasmin bangkit, hendak mendekati Rasel, namun Clarisa menahannya.
            Dia orang baik, Yas.
            Yasmin membaca tulisan di buku itu. Jika itu memang benar yang dikatakan Clarisa dari dalam hatinya, maka Yasmin tak bisa berbuat apa-apa. Ia menuruti apa yang diinginkan oleh sahabatnya itu.
            “Kamu kenal dia?”
            Iya. Dia temen masa kecil aku. Kamu bisa tinggalin kita berdua di sini? Kamu nggak perlu khawatir, Yas :)
Awalnya Yasmin ragu. Namun, setelah dibujuk oleh Clarisa, ia tak kuasa untuk menolak. Ia beranjak dari sana, meninggalkan Clarisa berdua dengan laki-laki bernama Rasel itu.
            Kini, hanya tinggal mereka berdua. Clarisa dan Rasel. Tak ada yang mampu memulai percakapan, sampai akhirnya Yasmin menuliskan sesuatu di lembar baru bukunya.
            Kamu keponakannya Tante Rosa, ya?
            Rasel mengangguk mantap.
            Maaf, ya, waktu itu aku nggak inget sama kamu. Aku kira kamu orang jahat, hehe.
            “Nggak apa-apa. Itu bukan masalah buat aku.” Rasel menjawab seraya menyunggingkan senyum terbaiknya.
            Kamu laki-laki yang dulu pernah motret aku, ya?
            “Iya.”
            Mereka terus berbincang dengan cara seperti itu. Rasel berbicara, sedangkan Clarisa hanya mengajukan pertanyaan dan jawaban dengan menulis di lembaran kertas.
            “Risa, ada sesuatu yang harus aku katakana sama kamu.”
            Tentang apa?
            “Tentang perasaan aku. Sebenarnya, udah lama aku mengagumi kamu sebagai sosok perempuan tangguh yang mampu bertahan dengan segala kekurangan kamu.”
            Makasih :)
            “Aku sayang sama kamu.”
            Jeda. Jantung keduanya sama-sama berdegup kencang.
            Maksud kamu?
            “Ya aku sayang sama kamu, Sa. Setiap tahun aku sengaja datang ke Jogja agar bisa ketemu kamu, mendengar alunan biola kamu, dan mengambil gambar kamu secara diam-diam.”
            Tapi, Rasel, kamu tahu kan kalau aku ini…
            “Ya, aku tahu kamu memang ada masalah sama pendengaran dan cara bicara kamu. Aku tahu itu semua.”
            Tapi, kenapa kamu masih sayang aku?
            “Aku sayang sama kamu karena aku ingin menjadi penutup kekurangan kamu. Mungkin kedengarannya aneh, tapi inilah aku, laki-laki yang menyimpan rasa kepada seorang gadis selama bertahun-tahun dan baru berani mengungkapkannya sekarang.”
            Sekali lagi makasih. Tapi, maaf, aku masih belum siap.
            “Tenang aja, Sa. Aku nggak pernah memaksakan perasaan seseorang. Aku akan tunggu sampai tiba saatnya kamu siap. Setiap tahun aku akan datang ke sini untuk menanyakan jawabannya.”
            Rasel…
            DUAR!!! Kembang api meledak dengan suara kencangnya meski jam belum menunjukkan pukul 12 malam. Clarisa nampak kaget, namun Rasel mencoba untuk menenangkan.
            “Tenang, nggak selamanya kembang api itu menakutkan. Kalau gini terus, gimana caranya kamu bisa bangkit dari rasa takut ini?”
            Rasel benar, sekarang sudah saatnya ia bangkit dari rasa ketakutan ini. Clarisa ingin mencoba menjalani hari baru ke depannya bersama Rasel, seseorang yang bisa menerima dia apa adanya, dan menjadi pembangkit semangat hidupnya. Clarisa sadar, ia mulai menyayangi Rasel, meski masih hanya sebatas teman.


Selesai

Embedded image permalink

No comments:

Post a Comment