Light Fire in The Silence
Suasana
malam kota Jogja rasanya tidak pernah berubah di mata Clarisa. Ramai, bising, indah,
padat akan individu, dan… kesendirian. Ia sudah terbiasa mengasingkan diri dari
teman-temannya dan sengaja berkeliling Jalan Malioboro untuk sekadar
menghabiskan waktu setelah bermain biola saat di rumahnya tadi.
Dengan tanpa semangat, ia terus menggerakkan kaki di
tengah kerumunan individu yang semakin memadati trotoar jalan. Sesekali ia mendongak,
memperhatikan langit malam yang begitu pekat tanpa ada bintang yang melengkapi.
Seperti hatinya, begitu kosong dengan beban berat yang selalu menghantui
kehidupannya setiap hari.
Clarisa merapatkan jaketnya lebih erat. Entah
mengapa, suhu malam kota Jogja menjadi lebih dingin dari biasanya. Namun, ia
tak menyadari kotak kecil yang disimpan dalam saku jaketnya jatuh. Ia tidak
menghiraukan itu, tetap memandang lurus ke depan tanpa menghentikan langkahnya.
Ketika berjalan, ia melihat seorang laki-laki datang
dari arah berlawanan. Mata mereka sempat bertemu. Namun, sedetik kemudian keduanya
kembali pada pandangan masing-masing, berjalan ke arah berbeda dengan tempat
tujuan yang juga berbeda.
Clarisa menghentikan langkahnya sejenak, berpikir
sesaat untuk mengingat wajah laki-laki tadi. Rasanya ia pernah melihat sosok
itu, tapi ia tak mengingatnya lebih jauh lagi.
Ia kembali berjalan dengan langkah yang semakin
dipercepat. Ini bukan saatnya untuk memikirkan hal yang tidak penting.
Ini
hari kelima ia berada di Jogjakarta. Maka, ia tak ingin melewatkan momen
berharga di kota yang istimewa ini. Malioboro menjadi sasaran utamanya. Orang
bilang, belum lengkap rasanya jika berada di Jogjakarta tanpa mampir ke tempat
ini.
Benar saja, ternyata jalan yang dipadati oleh
pedagang kaki lima ini menyimpan kenangan tersendiri di benak laki-laki berusia
19 tahun itu. Ia bisa membeli barang-barang khas Jogjakarta dengan harga
miring, bahkan masih bisa melakukan proses tawar menawar di tengah transaksi
bersama sang penjual.
Satu tas berukuran sedang terus
digenggam oleh tangan kirinya. Ia melanjutkan perjalanan menyusuri Malioboro,
memanjakan matanya dengan pemandangan khas kota Jogja yang hanya setahun sekali
akan ditemuinya.
Saat ia berjalan, ia melihat seorang
gadis berambut ekor kuda datang dari arah berlawanan. Mata mereka sempat
bertemu. Namun, sedetik kemudian keduanya kembali pada pandangan masing-masing,
berjalan ke arah berbeda dengan tempat tujuan yang juga berbeda.
Ia melihat ada kotak kecil
tergeletak sembarangan di aspal jalan. Ia mengambilnya, kemudian melihat ke sekeliling
untuk menemukan siapa pemiliknya. Matanya tertuju pada seseorang yang beberapa
detik lalu dijumpainya. Ia yakin, pemilik kotak ini adalah gadis berambut ekor
kuda itu yang belum jauh dari jarak pandangnya.
“Hei, tunggu!” Ia berusaha
memanggil, namun orang yang dimaksud tak kunjung berbalik arah.
Ia berjalan sedikit cepat menembus
beberapa orang yang memadati jalan, lalu meletakkan telapak tangannya di pundak
gadis tersebut. Mata mereka bertemu lagi. Dan kali ini ia tahu bahwa gadis ini
adalah seseorang yang dicarinya.
“Ka-kamu?” Ia bertanya seraya menggerakan
jari telunjuk.
Tak ada respon. Lawan bicaranya
hanya menatap dengan kening mengerut.
“Ini punya kamu, kan? Tadi jatuh di
jalan.”
Gadis itu mengambil barang yang
memang miliknya, lalu pergi begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih.
***
Clarisa
membuka jendela kamarnya. Dilihatnya matahari mulai meninggi dengan kemilau
cahaya yang membuatnya memicingkan mata. Ia mengalihkan pandangan ke kalender
duduk di meja belajarnya. Hari ini tanggal 30 Desember. Itu berarti sudah 5
tahun lamanya peristiwa itu berlalu, peristiwa yang pelan-pelan mengikis senyum
di wajahnya.
Sebenarnya, ia tak ingin mengingat
kejadian itu lagi. Namun, semakin ia berusaha melupakan, bayang-bayang
peristiwa itu seakan datang tanpa diundang untuk mengusik kehidupan. Hal ini
selalu membuatnya tidak nyaman.
Di tengah lamunnya saat itu,
ponselnya berdering. Tertera nama Yasmin pada
layar. Ia menekan tombol hijau, lalu memindahkannya ke telinga kanan.
“Halo,
Sa? Ada di rumah, kan? Jalan-jalan ke Keraton yuk hari ini. Aku jemput jam 10
di rumah kamu, ya. Nggak usah banyak tanya dan jangan menolak. Ini perintah
dari sahabat lo sendiri. Bye…”
Percakapan berakhir. Ia tahu betul
bagaimana sikap Yasmine jika sedang bicara, sungguh cerewet, seakan tanpa menciptakan jeda pada setiap
desah napasnya.
Maka, Clarisa segera bergegas untuk
mempersiapkan diri. Ia yakin, dengan kehadiran sahabat yang sudah dikenalnya
sejak masa kecil itu akan membantunya melupakan sejenak tentang kesedihannya
hari ini. Semoga.
***
Ini
hari keenam ia berada di kota Jogjakarta. Kesempatan ini ia gunakan untuk
datang ke kawasan Keraton bersama temannya, Alvan.
Kota Jogja memang selalu panas.
Terik mataharinya membuatnya dan temannya itu terpaksa mengenakan topi untuk
mengurangi cahaya matahari yang akan membakar kulit mereka.
Ia mengambil beberapa objek gambar
melalui kamera SLR yang dibawanya dari Bandung. Kenangan harus dipelihara,
itulah katanya. Maka, sering kali ia membawa kamera kesayangannya itu untuk memotret
apapun yang menurutnya akan menyimpan serpihan kenangan baru.
“Kemarin malem gue ketemu sama cewek
itu lagi,” ucapnya singkat tanpa mengalihkan pandang dari lensa kamera.
Alvan mengangkat kedua alisnya. “Oh,
ya? Yakin?”
“Iya. Kemarin waktu gue jalan
sendiri di Malioboro.”
“Terus?”
Ia menceritakan secara rinci
bagaimana proses pertemuan tak terduga itu berlangsung.
“Lo temuin cewek itu, dong.”
“Kalau gue bisa. Tapi, rasanya
sedikit sulit.”
“Kita langsung masuk ke dalem, yuk.”
Alvan mencoba mengalihkan pembicaraan.
***
Sebenarnya
Clarisa bosan harus mengunjungi tempat wisata Keraton ini lagi. Ia lahir dan
dibesarkan di Jogja. Sudah ratusan kali rasanya sejak ia kecil sering
mengunjungi tempat beresejarah ini. Dan, jika bukan karena Yasmin yang
mengajaknya, maka ia lebih memilih untuk menghabiskan waktu di dalam kamar,
memainkan alat musik kesayangannya seorang diri.
“Foto, yuk!” Yasmin meraih ponsel
androidnya, lalu sengaja mendekatkan diri ke arah Clarisa untuk mengabadikan
momen ini. Sahabatnya itu menatap ke arah kamera dengan senyuman yang sedikit
dipaksakan.
Yasmine merangkul Clarisa. Ia tahu
betul apa yang ada di dalam pikiran gadis ini. Maka, ia mencoba memberi ketenangan,
kehangatan, serta kasih sayang yang hanya bisa didapat dari seorang sahabat.
“Gue sengaja ajak lo jalan-jalan.
Seenggaknya, lo bisa sedikit melupakan peristiwa itu. Sekarang waktunya kita
seneng-seneng. Masuk ke dalem, yuk!”
Clarisa tersenyum, namun ini
senyuman yang tulus, tanpa sedikit keterpaksaan. Ia mengikuti langkah Yasmin,
masuk ke dalam Keraton bersama wisatwan lainnya yang sengaja datang untuk
menghabiskan hari-hari terakhir tahun ini di Jogjakarta.
Teriknya kota Jogja tidak menyurutkan
semangat mereka. Keduanya berkeliling di dalam Keraton, menyaksikan
peninggalan-peninggalan masa lalu yang sengaja diabadikan di tempat ini.
“Kamu?”
Suara itu membuat Clarisa dan Yasmin
kompak berbalik arah dan melihat ada dua laki-laki bertopi yang sedang berdiri
di hadapan mereka. Mata Clarisa tertuju pada laki-laki berbaju putih. Orang ini
adalah yang ditemuinya kemarin malam, yang mengembalikan kotak kecil berharga
miliknya.
Kenapa
dia ada di sini?
Yasmin memandang heran. Mereka jelas
orang asing.
“Kalian siapa?” Tanya Yasmin
hati-hati.
“Aku Rasel, dan ini teman aku,
Alvan. Kemarin malem aku nggak sengaja ketemu sama temen kamu ini.” Rasel
memandang tajam kea rah Clarisa.
“Maksud kamu...”
“Clarisa. Nama kamu Clarisa, kan?”
Rasel memotong pembicaraan, tanpa mengalihkan pandang dari wajah Clarisa.
Yasmin sedikit panik, ia takut orang
yang baru dikenalnya ini bukanlah orang baik-baik. Ia menarik lengan Clarisa, lalu
segera menjauh dari hadapan dua laki-laki itu.
“Maaf, kita nggak punya waktu
banyak.”
Rasel mencoba untuk mengejarnya,
namun Alvan sengaja menahan.
“Rasel, gue udah bilang, kan? Ini
bukan waktu yang tepat! Lo harus sedikit bersabar dan nggak bisa datang
tiba-tiba gini.”
“Tapi, Van, gue…”
“Nanti malem lo coba ke rumahnya.”
Rasel mengangguk mantap.
***
Malam
itu Clarisa sengaja berdiam diri di halaman belakang rumahnya yang dipenuhi
rumput hijau. Ia ingin merasakan bagaimana dinginnya kota Jogja, menatap langit
gelap tanpa bintang, dan memainkan biola untuk mengusik sunyinya malam.
Maka, ia sengaja membawa biolanya
itu ke sini, dan mulai memainkannya dengan penuh perasaan. Melodinya indah,
nada yang tercipta nyaris sempurna, dan angin malam yang meniup halus helaian
rambutnya itu membuat Clarisa seperti pemain biola yang sudah professional.
“Kamu suka main biola, ya?”
Suara itu seketika membuat dirinya
bergetar dan langsung menghentikan permainannya. Itu suara laki-laki bernama
Rasel yang ditemuinya saat di Keraton tadi siang.
“Maaf, apa aku ganggu?”
Clarisa menatap Rasel dengan sorot
mata tajam. Ia bertanya dalam hatinya, bagaimana mungkin laki-laki ini dapat
mengetahui alamat rumahnya, bahkan sampai bisa masuk ke halaman belakang dan
mengintipnya yang sedang sendirian.
“Ada yang mau aku bicarakan.” Rasel
mencoba membuka topic.
Clarisa bingung. Ia sama sekali tak
mengenali Rasel, tapi laki-laki bertubuh tinggi itu seperti tahu bagaimana luar
dalam kehidupannya. Apa dia pernah bertemu dengannya pada satu waktu yang tidak
ia ingat? Entahlah, untuk memikirkannya saja Clarisa terasa malas.
“Ini tentang…” Rasel melanjutkan.
Clarisa langsung pergi tanpa pamit.
Ia berjalan cepat ke dalam rumah dengan meninggalaan Rasel yang mematung tanpa
geming melihat kepergiannya.
“Risa, aku mohon dengar aku!”
Gadis itu berhenti sejenak dengan
membelakangi Rasel.
“Clarisa, mungkin kamu nggak
mengenal aku secara dalam. Tapi, aku tahu kamu. Aku tahu tentang keluarga kamu.
Dan bahkan, aku tahu tentang peristiwa apa yang terjadi lima tahun lalu yang
dialami sama kamu.”
Bagaimana
mungkin dia bisa tahu?
Clarisa melanjutkan langkahnya, ia
tetap tak ingin mendengar apa yang dikatakan Rasel. Ia sudah cukup senang
dengan kehadiran Yasmin yang berusaha untuk menghiburnya, melupakan sejenak
tentang peristiwa itu. Tapi, tiba-tiba laki-laki ini datang tanpa permisi,
membuka kenangan lama yang seharusnya tidak pernah diingatnya lagi.
Clarisa menangis. Terlalu berat
rasanya untuk menanggung beban ini sendirian. Maka, ia melepas sesuatu yang ada
di telinganya, lalu memasukannya ke dalam saku celana. Dengan begini, kesunyian
akan menyelimutinya, dan ia bisa sedikit lebih tenang.
“Risa, aku mohon jangan lepas alat
pembantu pendengaran kamu itu!”
Lagi-lagi tak ada respon. Percuma, gadis
itu tak akan bisa mendengar ucapannya.
***
Ini
hari ketujuh Rasel berada di Jogjakarta. Biasanya, dengan semangat ia akan
mengajak Alvan, temannya yang sengaja ia ajak dari Bandung, untuk berkeliling
kota ini. Tapi, hari ini semangatnya seakan luntur. Sejak kejadian kemarin
malam, ia tidak banyak bicara.
“Bro,
jangan lesu gitu dong. Nanti malem kan kita mau tahun baruan di Malioboro.”
Alvan mencoba memberi semangat.
“Makasih.”
Ini hari terakhir mereka berdua
berada di Jogjakarta. Rasel sengaja ingin menghabiskan malam tahun baru di kota
yang istimewa, bersama teman terdekatnya di kampus, dan tentunya dengan harapan
melihat kembang api pergantian tahun bersama Clarisa.
Namun, ia juga tahu, Clarisa tidak
akan pernah mau jika diajak untuk melihat pesta kembang api. Clarisa bukannya
tidak suka melihat kilau kembang api yang menyala indah mewarnai pekatnya
malam. Ia hanya tidak suka suaranya, suara ledakan yang berhasil melukai
gendang telinganya hingga ia tak bisa lagi mendengar.
Sejak saat itu, Clarisa menghindari sesuatu
yang berhubungan dengan kembang api. Ia mungkin masih bisa melihat warna-warni
cahaya yang akan bertaburan pada perayaan malam tahun baru, namun ia tak akan
mendengarnya. Ia akan sengaja melepaskan alat bantu pendengarannya dan hanya
mengandalkan indera pengelihatannya, bukan indera pendengaran.
Rasel beranjak dari kursi,
menginggalkan Alvan sendirian, lalu mencari Tante di seisi rumah untuk meminta
pertolongan.
“Ada apa, Rasel?”
“Tante bisa tolong telepon Nek
Rahmi? Tolong tanyain apa Clarisa ada di rumahnya atau enggak.”
Tantenya tersenyum, wanita berusia
40 tahunan itu tahu betul apa yang diinginkan keponakannya itu. Dan tanpa
menunggu waktu lama, informasi tentang Clarisa sudah berhasil diperolehnya.
***
Rasel
melangkah keluar rumah untuk menemui Clarisa. Hanya perlu waktu tiga menit untuk
berjalan kaki, maka ia akan sampai di rumah gadis itu, yang sudah lama tinggal
bersama neneknya.
Ia tak bisa melupakan bagaimana awal
pertemuannya bersama Clarisa. Saat itu usianya baru 16. Seperti tahun-tahun
sebelumnya, saat akhir tahun tiba, Rasel akan datang ke rumah Tante Rosa di
Jogjakarta dan berkumpul bersama keluarga besar untuk menyaksikan detik-detik
pergantian tahun.
Ia datang menggunakan mobil pribadi dan duduk di
bangku tengah dekat jendela. Laju mobil yang tidak terlalu kencang dapat
membuatnya melihat secara jelas kompleks perumahan ini dengan seksama.
Lalu tanpa sengaja, matanya tertuju pada seorang
gadis seusianya yang sedang berjalan membawa sebuah alat musik. Itu biola, dan
Rasel sangat menyukai musik yang diciptakan oleh alat musik tersebut. Ia hanya menatap
gadis itu untuk beberapa detik, tanpa ada perasaan khusus.
Keesokan harinya Rasel diajak oleh Tante Rosa
berkunjung ke salah satu tetangganya. Dan saat itulah pertama kalinya ia
mendengar alunan musik itu secara langsung yang dimainkan oleh Clarisa. Sejak
itu, ada rasa kagum tumbuh di dalam hatinya.
Saat perayaan tahun baru tiba, Rasel begitu gembira
bersama keluarganya. Mereka mengadakan pesta kecil di halaman depan rumah,
membakar jagung, daging, meniup terompet serta menyalakan kembang api yang
meledak-ledak di udara. Sungguh sempurna.
Malam itu juga, Rasel melihat Clarisa sedang berlari
terburu-buru melewati rumahnya. Dan tanpa sadar, gadis itu menjatuhkan kotak
kecil yang akhirnya tergeletak di aspal jalan. Rasel memungutnya, lalu melihat
isi dari dalam kotak tersebut.
Headset? Tapi
bentuknya sedikit aneh.
Rasel mencoba memanggil Clarisa dengan sebutan “Hei, Kamu”, tapi gadis itu tidak
mendengarnya, terus berlari meninggalkan Rasel yang masih kebingungan.
Sehari kemudian Rasel tahu dari Tantenya bahwa
tetangganya itu ternyata mempunyai masalah dalam pendengaran dan harus mengunakan
alat bantu yang dipasang pada telinganya. Rasel juga tahu, bahwa isi dari kotak
kecil kemarin bukanlah sebuah headset.
Rasel menggelengkan kepalanya, ia mencoba menepis
sejenak tentang kejadian tiga tahun yang lalu itu. Sekarang, ia sudah berdiri
di pintu rumah Clarisa. Ia mengetuk pelan dengan debaran jantung yang tak
tertahankan. Beberapa detik kemudian, seorang gadis berambut ekor kuda datang
membukakan pintu, dengan alat bantu pendengaran yang terpasang halus di
telinganya.
***
Clarisa
menatap benda di meja itu dengan tatapan heran. Sebuah kamera SLR? Milik siapa?
Ia menanyakan pada Neneknya yang sedang memasak di dapur tentang kamera
tersebut. Dan Neneknya berkata bahwa itu milik Rasel, laki-laki yang singgah ke
halaman belakang rumahnya saat kemarin malam.
Clarisa menatap sebal. Laki-laki itu
lagi. Sebenarnya siapa dia? Kenapa Nenek bisa kenal?
Ia sengaja menghidupkan kamera SLR
itu, lalu dengan iseng melihat gambar apa saja yang sudah menjadi objek
pemotretan Rasel. Dan gambar terakhir yang terlihat jelas pada layar kamera
adalah fotonya sendiri. Itu Clarisa yang sedang memainkan biola kemarin malam.
Tidak hanya satu, tapi ada beberapa. Ia semakin bingung dan tak mengerti.
TOK! TOK!
Ada
tamu. Clarisa berjalan ke arah depan, lalu membuka pintu tanpa melepaskan
kamera SLR itu dari genggamannya. Dilihatnya Rasel sudah berdiri tegak di sana,
hanya mengenakan kaos putih polos dengan pasangan celana jeans biru tua.
“Maaf ganggu, aku mau ambil kamera aku yang kemarin…”
Rasel membiarkan suaranya berhenti dan menggantung
di udara. Ia mendadak bisu saat melihat kamera itu sudah berada di tangan
Clarisa.
Clarisa pun tampak salah tingkah. Ia ingin bicara
sesuatu, namun tak sanggup.
“Terima kasih.” Rasel mengambil alih kamera
miliknya, lalu berbalik arah untuk kembali ke rumah Tantenya.
Tunggu, Rasel!
Rasel menghentikan langkah, ia lupa harus mengatakan
sesuatu kepada gadis ini.
“Oh iya, malem nanti aku tunggu kamu di Malioboro
ya. Kalau mau, kita lihat pergantian tahun bareng-bareng. Kalau cuma aku berdua
sama Alvan rasanya kurang seru. Kamu boleh ajak Yasmin nanti. See You.
Punggung Rasel akhirnya menghilang dari pandangan
Clarisa.
Kamera itu,
laki-laki itu. Apa mungkin dia adalah…
Ingatannya kembali tersapu oleh kenangan lama. Ia
ingat dulu pernah ada seorang remaja yang diam-diam memotretnya saat sedang
memainkan biola di halaman belakang. Saat ia menoleh ke arah kamera, laki-laki
itu panik dan segera berlari dari hadapannya.
Apa mungkin
Rasel adalah laki-laki itu?
***
Pukul
sembilan malam. Suasana Jalan Malioboro sudah mulai dipadati oleh banyak
individu, baik itu pejalan kaki, pengendara kendaraan bermotor, ataupun
pedagang yang masih setia menemani wisatawan di trotoar jalan. Rasel dan Alvan
pun demikian, mereka berdua ikut memenuhi jalan ini untuk bersama-sama
merayakan malam pergantian tahun.
“Lo aneh, deh. Masa lo nyuruh
Clarisa dateng ke sini buat nemenin kita, sementara suasana Malioboro udah
dibanjiri sama manusia. Gimana cara lo nyari?”
Rasel hanya diam, membiarkan
temannya itu terus bicara dan menasehatinya seperti anak kecil kehilangan balon
berbentuk kotak. Ia tahu, mungkin permintaannya terasa konyol. Lain lagi
ceritanya jika ia memberi tahu tempat pertemuan di tempat yang lebih spesifik.
Tapi, ternyata Clarisa memang ada di
Malioboro juga, bahkan terlihat sekilas oleh mata Rasel.
“Itu Clarisa, Van!”
“Hah? Mana?”
Lagi-lagi Rasel tidak menghiraukan
apa yang dikatakan Alvan. Ia berlari menembus kerumunan orang di jalan dengan
perasaan yang tak menentu. Ia sangat yakin tadi ada Clarisa di depan matanya.
“Clarisa! Clarisa!” Tak hentinya ia
memanggil nama itu, tapi gadis yang dicari seolah lenyap tanpa jejak.
Apa mungkin Clarisa lagi nggak memakai alat
bantu pendengarannya itu?
Rasel meraih ponsel yang ia simpan
di saku jaketnya, mencari nama Alvan, lalu meneleponnya.
“Bro, lo mau tunggu di sana sendiri
apa ikut gue?” Tanya Alvan dengan desah napas yang tak teratur.
“Hah?
Maksudnya apa?”
“Gue mau nyusul Clarisa ke rumahnya.”
“Tadi
katanya lo lihat Clarisa di sini.”
“Mungkin itu cuma perasaan gue aja.
Gue yakin dia masih di rumah. Ya udah, lo dateng ke rumah Tante gue aja dulu.
Nanti jam sebelas kita ke Malioboro bareng-bareng lagi.”
“Gue
nggak ngerti. Halo? Halo?”
Percakapan selesai.
***
Clarisa
masih berdiam diri di halaman belakang bersama sahabatnya, Yasmin. Sejak lima
tahun lalu, sejak ia kehilangan pendengarannya, ia salalu melewatkan malam
tahun baru di sini, ditemani oleh sahabat yang tak hentinya selalu menemani
dari tahun ke tahun tanpa memandang kekurangannya.
“Tiap tahun kita selalu aja gini.”
Yasmin membuka topik. “Melihat kembang api, bakar jagung, atau niup terompet.”
Clarisa menuliskan sesuatu pada
lembar bukunya, lalu memperlihatkannya kepada Yasmin.
Makasih
ya udah mau jadi sahabat aku :)
Yasmin memeluk Clarisa erat. Ia tak
bisa lagi menahan air mata yang akhirnya jatuh membasahi pipi.
“Sama-sama, Clarisa. Gue seneng bisa
jadi sahabat lo.”
Sekali lagi, Clarisa menuliskan
sesuatu.
Cuma
kamu yang tulus sayang sama aku. Aku beruntung bisa punya sahabat kayak kamu.
Air mata Yasmin semakin menjadi. Ia janji akan tetap
setia menjadi sahabat Clarisa sampai kapanpun dan dalam keadaan apapun. Ia
tahu, persahabatan memang harus menutupi kekurangan sahabatnya.
“Clarisa!”
Suara itu mengganggu kedamaian
keduanya. Itu Rasel, berdiri di belakang Clarisa dan Yasmin dengan napas yang
tak teratur, dan dengan keringat yang membasahi pelipis.
“Kamu lagi? Apa sih mau kamu?”
Yasmin bangkit, hendak mendekati Rasel, namun Clarisa menahannya.
Dia
orang baik, Yas.
Yasmin membaca tulisan di buku itu.
Jika itu memang benar yang dikatakan Clarisa dari dalam hatinya, maka Yasmin
tak bisa berbuat apa-apa. Ia menuruti apa yang diinginkan oleh sahabatnya itu.
“Kamu kenal dia?”
Iya.
Dia temen masa kecil aku. Kamu bisa tinggalin kita berdua di sini? Kamu nggak perlu khawatir, Yas :)
Awalnya Yasmin ragu. Namun, setelah dibujuk oleh
Clarisa, ia tak kuasa untuk menolak. Ia beranjak dari sana, meninggalkan
Clarisa berdua dengan laki-laki bernama Rasel itu.
Kini, hanya tinggal mereka berdua. Clarisa dan
Rasel. Tak ada yang mampu memulai percakapan, sampai akhirnya Yasmin menuliskan
sesuatu di lembar baru bukunya.
Kamu
keponakannya Tante Rosa, ya?
Rasel mengangguk mantap.
Maaf,
ya, waktu itu aku nggak inget sama kamu. Aku kira kamu orang jahat, hehe.
“Nggak apa-apa. Itu bukan masalah
buat aku.” Rasel menjawab seraya menyunggingkan senyum terbaiknya.
Kamu
laki-laki yang dulu pernah motret aku, ya?
“Iya.”
Mereka terus berbincang dengan cara
seperti itu. Rasel berbicara, sedangkan Clarisa hanya mengajukan pertanyaan dan
jawaban dengan menulis di lembaran kertas.
“Risa, ada sesuatu yang harus aku katakana
sama kamu.”
Tentang
apa?
“Tentang perasaan aku. Sebenarnya,
udah lama aku mengagumi kamu sebagai sosok perempuan tangguh yang mampu
bertahan dengan segala kekurangan kamu.”
Makasih
:)
“Aku sayang sama kamu.”
Jeda. Jantung keduanya sama-sama
berdegup kencang.
Maksud
kamu?
“Ya aku sayang sama kamu, Sa. Setiap tahun aku
sengaja datang ke Jogja agar bisa ketemu kamu, mendengar alunan biola kamu, dan
mengambil gambar kamu secara diam-diam.”
Tapi,
Rasel, kamu tahu kan kalau aku ini…
“Ya, aku tahu kamu memang ada masalah sama
pendengaran dan cara bicara kamu. Aku tahu itu semua.”
Tapi,
kenapa kamu masih sayang aku?
“Aku sayang sama kamu karena aku ingin menjadi
penutup kekurangan kamu. Mungkin kedengarannya aneh, tapi inilah aku, laki-laki
yang menyimpan rasa kepada seorang gadis selama bertahun-tahun dan baru berani
mengungkapkannya sekarang.”
Sekali
lagi makasih. Tapi, maaf, aku masih belum siap.
“Tenang aja, Sa. Aku nggak pernah memaksakan
perasaan seseorang. Aku akan tunggu sampai tiba saatnya kamu siap. Setiap tahun
aku akan datang ke sini untuk menanyakan jawabannya.”
Rasel…
DUAR!!! Kembang api meledak dengan suara kencangnya
meski jam belum menunjukkan pukul 12 malam. Clarisa nampak kaget, namun Rasel
mencoba untuk menenangkan.
“Tenang, nggak selamanya kembang api
itu menakutkan. Kalau gini terus, gimana caranya kamu bisa bangkit dari rasa takut
ini?”
Rasel benar, sekarang sudah saatnya
ia bangkit dari rasa ketakutan ini. Clarisa ingin mencoba menjalani hari baru
ke depannya bersama Rasel, seseorang yang bisa menerima dia apa adanya, dan menjadi pembangkit semangat hidupnya. Clarisa sadar, ia mulai menyayangi Rasel, meski masih hanya sebatas teman.
Selesai
No comments:
Post a Comment